curhat

Tuhan Yang Hilang


MEMBUNUH TUHAN
Oleh :










Idris Mahmudi, Amd.Kep.S.Pd.I.*
Email : idris_mahmudi@yahoo.co.id
Blog : www.tata-h5idris.blogspot.com
HP : 081336385486

Al-kisah seorang Mursyid (guru spiritual sufi) memiliki 7 murid dan mengumpulkannya untuk mendapat wejangan (pelajaran). Sang guru memberikan seekor burung dan sebilah pisau tajam pada masing-masing muridnya. Kemudian memerintahkan para murid menyembelih burung tersebut dengan perlengkapan pisau dimana saja dengan syarat tempat tersebut tidak ada satupun yang mengetahui. Berpencaranlah para murid tersebut. Ada yang di semak-semak, begitu kiri-kanan terlihat sepi lalu disembelihlah burung itu, begitu pula murid lainnya melakukan di tempat aman lain pula. Setelah usai semua berkumpul di hadapan mursyid memberikan laporan bahwa tugasnya sudah selesai dan dijamin tidak ada yang tahu. Tapi murid ke-7 datang masih membawa burung dan pisau tersebut di hadapan guru serta murid lainnya. Dengan heran sang mursyid bertanya ”mengapa tidak kamu sembelih?”. Jawab murid ”karena syaratnya begitu berat guru, mungkin orang tidak tahu persembunyian saya saat menyembelihnya, tapi tiada tempat yang luput dari pengawasan Allah”. Sang mursyid tersenyum dan menyatakan ke semua, murid ke-7 lah yang dinyatakan lulus ujian serta diwisuda sebagai murid teladan yang telah menyandang Ma’rifat/Mukasyafah (derajat tertinggi dalam dunia tasawuf karena telah berhasil berinteraksi dengan Tuhan).
Kisah ini seringkali dulu dikisahkan oleh dai kondang almarhum K.H. Zainudin MZ dalam ceramah-ceramahnya. Kisah tersebut kebenarannya memang perlu diklarifikasi, namun substansinya begitu dalam dan berarti bagi efek kehidupan. Jika Tuhan telah hadir dalam hati seorang hamba, maka prilakunya begitu santun selama kehidupan di dunia ini. Daripada kita berdebat soal pro-kontra kebenaran kisah diatas, lebih baik kita lihat kisah Kholifah Umar bin Abdul Aziz yang otentik kebenarannya.
Suatu ketika kholifah lembur untuk menyelesaikan tugas kenegaraan sampai larut malam dibantu penerangan lampu petromak (lampu dari minyak, baca : damar oblik) di kantor kepresidenannya. Di waktu lembur malam hari itu putranya datang mengetuk pintu. Dipersilahkanlah masuk dan ditanya ”ada kepentingan apa putraku?” jawab putranya ”mau menyelesaikan masalah keluarga kita yang belum selesai tadi”. Sang kholifah langsung mematikan lampu dan berkata ”baik, marilah kita selesaikan”. Putranya heran dan protes ”kenapa lampunya dimatikan?”. kholifah menjawab ”dari tadi saya lembur menyelesaikan masalah negara dengan fasilitas lampu negara, jika tetap saya nyalakan untuk menyelesaikan masalah keluarga kita, sungguh saya telah khianat, tidak amanah karena telah memakai fasilitas negara demi kepentingan keluarga. Saya takut neraka karena korupsi, saya malu dengan Allah”.
Mengapa murid ke-7 dalam kisah sufi tidak jadi menyembelih burung? Karena Tuhan hadir dalam dirinya. Mengapa kholifah Umar bin Abdul Aziz mematikan lampu? Karena Tuhan hadir dan mampu hidup dalam hatinya, sehingga Ia merasa dikontrol langsung oleh Tuhan. Dengan pertanyaan yang sama, mengapa koruptor merajalela di negeri ini? Mungkin Tuhan tidak mampu dihadirkan dalam diri atau justru sengaja dibunuh oleh para oknum aparat yang koruptor. Ironis sekali, negeri yang agamis yang kehidupan beragama tumbuh subur, bahkan konon 83 % masyarakatnya muslim tapi tatanan dan prilakunya tidak islami. Indonesia masih nomer 3 terkorup sedunia, nomer 1 terkorup se-Asia Pasifik. Lantas dimanakah Tuhan? Roh Mo Yun (mantan presiden Korea Utara) bunuh diri dari ketinggian tebing karena merasa malu media memberitakan dirinya di duga korupsi, padahal masih di duga. Menteri perhubungan Korea Selatan langsung mengundurkan diri sesaat setelah terjadi kecelakaan kereta api karena merasa malu telah gagal mengatur keselamatan transportasi. Terlalu banyak koruptor di negeri ini yang tidak punya malu pada rakyatnya sendiri. Kasus KEMENTRANS baru-baru ini begitu menusuk hati. Institusi keagamaan KEMENAG (nyata-nyata bersinggungan dengan Tuhan) justru menyelewengkan Dana Abadi Umat (DAU haji). Begitu banyak kecelakaan di negeri ini namun menterinya tidak malu dan tidak segera undur diri. Budaya malu sudah tidak ada lagi di negeri ini. Alih-alih merasa malu, justru bangsa ini malu-malu-in di mata Internasional. Jangan-jangan benar anekdot Najwa Shihab ”jika di zaman ORLA korupsi sembunyi-sembunyi di bawah meja, di zaman ORBA korupsi terjadi diatas meja, era reformasi korupsi makin gila, karena tidak dibawah atau diatas meja, namun mejanya pun dikorupsi dan dibawa lari”.
Sebagai anak bangsa penulis merasa malu dengan negara Cina yang berideologi komunis namun justru lebih islami dari Indonesia. Dulu korupsi di Cina susah diberantas, tapi sejak 2003 Hu Jin Tao diangkat jadi presiden dengan singkat dan tegas dalam sambutan kepresidenannya berkata ”sediakan 100 peti mati bagi para koruptor, dan sisakan 1 untuk saya jika kalian dapati saya korupsi”. Sejak saat itu koruptor dihukum mati di Cina, dan luar biasa angka koruptor menurun drastis di Cina karena efek jera hukuman mati. Bagaimana hukuman korupsi di Indonesia? Alih-alih dihukum mati, justru ada koruptor yang penjaranya seperti hotel bintang 5, ada salonnya bahkan ada sarana karaokenya. Anehnya Gayus Tambunan justru bisa keluar nonton bulu tangkis ke Bali. Hukuman mati tidak diterapkan sehingga tidak menimbulkan efek jera. Seandainya hukuman mati diterapkan bagi para koruptor, secara pribadi penulis tidak sepakat. Karena Indonesia dengan Cina sangatlah berbeda, yang pantas untuk koruptor Indonesia bukanlah dihukum mati tapi mungkin dimutilasi, karena begitu mengguritanya white collar crime dalam klasifikasi extra ordinary crime ini.
Tidak ingatkah kita dengan deklarasi Muhammad SAW ”Demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, jika Fatimah putriku mencuri biarlah Muhammad yang memotong tangannya”. Bukankah deklarasi presiden Cina yang anti Tuhan (komunis) justru lebih islamis karena bersesuaian dengan deklarasi universal nabi? Mengapa negeri ini yang dasarnya pancasila yang sila pertamanya ketuhanan yang maha Esa mengutip Prof. Dr. Amien Rais, M.A justru berubah jadi keuangan yang maha kuasa, sehingga yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan. Posisi kekuasaan Tuhan sudah digeser dan dikuasai keuangan.
Dari atas turun ke bawah, fenomena hilangnya Tuhan dari birokrasi merambat ke generasi. Disaat menyampaikan kuliah umum ke mahasiswa, penulis iseng melontarkan angket “faktor apa saja yang paling ditakuti remaja jika melakukan free sex menurut anda?”. Dari 56 responden terlihat 1. takut hamil = 41 %. 2. takut dosa/takut laknat Tuhan/takut masuk neraka = 39 %. 3. takut terkena HIV-AIDS = 20 %. Berikutnya dengan nilai lebih kecil takut ketahuan orang tua, dan takut dikucilkan keluarga dan masyarakat. Sebuah data yang mencengangkan, generasi muda kita lebih takut terjadi hamil dari pada pada Tuhan. Sungguh iman mulai tipis, dosa mulai tiada dan Tuhan mulai enggan menyapa karena Dia sudah di nomer dua-kan (menempati prioritas nilai ke-2). Karena Tuhan nomer 2, pantaslah jika di Jawa Timur (tahun 1992) 47% remajanya pernah melakukan hubungan seks pra-nikah, di Bali (tahun 1990) 90% remajanya pernah berhubungan seks bebas.(Mahmudi, 2009 : 86). Bahkan Penelitian baru-baru ini di Jogjakarta (tahun 2003 oleh Iip Wijayanto dalam bukunya sex in the kost) menyatakan 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah tidak perawan lagi.(Babun Suharta, 2011 : 2).
Ayo kita bina lagi generasi, ayo kita tata lagi birokrasi dengan menghidupkan Tuhan kembali ke dalam diri. Kita bukanlah penganut Karl Marx yang bergumam “the relegion is opium”(agama adalah candu/sesuatu yang meracuni). Kita juga bukan penganut Nietszhe yang mengigau “God is died”(Tuhan telah mati) dan mendeklarasikan kematian Tuhan karena merasa frustasi tidak menemukan Tuhan dalam pencariannya. Kita adalah umat yang meminjam terminologi Ihsan “beribadah (melakukan perbuatan apa saja) seakan-akan mampu melihat Allah, namun jika tidak mampu melihat-Nya yakinlah bahwa Dia pasti melihat segala perbuatan kita”. Dengan begitu kita tidak perlu polisi atau KPK, karena Tuhan yang mengontrol kita. Jika kita tidak sadar dari koma ini, kondisi bagsa dan generasinya akan makin parah. Mungkin kita tidak membunuh Tuhan, tapi dengan data jawaban remaja diatas Tuhan telah di nomer duakan, Tuhan telah di-marginalkan, dan jangan-jangan hal itu adalah proses untuk membunuh Tuhan secara perlahan. Astaghfirullohal Adziim...

• Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Jember, Dai dan Perawat-Akupunturis, penulis buku “Panduan Lengkap seks Islami ditinjau dari Segi Al-Qur’an, hadis dan Medis”, dan dosen bantu di FIKES UNMUH Jember.

0 komentar:

Posting Komentar