curhat

PENGALAMAN SPIRITUAL


BELAJAR DARI MBOK SUTARSIH
(Sebuah pengalaman spiritual)
Oleh :

Idris Mahmudi, Amd.Kep.*

Jam 01.00 tengah malam Ia bangun untuk mulai memasak, jam 04.00 dini hari ia tinggal untuk menunaikan sholat subuh sambil menanti yang sebentar lagi matang masakannya. Kira-kira jam 04.30 seusai sholat dan dzikir ia mengentas masakannya dan sesudah mandi pagi, tepat jam 05.00 ia “suwun” (diangkat diatas kepalanya) keranjang besar dan satu tas besar ia “cangking” di tangan kanannya, ia bawa untuk dijajakan atau dijual ke msyarakat sekitar. Ia berjalan kaki (hanya berjalan kaki tanpa naik kendaraan umum sama sekali) mulai dari rumah kontrakannya di kaki bukit Rembangan (daerah wisata jember yang terkenal berada di puncak gunung) berkeliling ke kota dari Mbaratan, Bintoro, Patrang, jalan Masrip daerah kampus UNEJ, jalan Semeru dan Kalimantan daerah kampus UNMUH, SMA 1 dekat RRI Jember, memutar lewat gladak kembar hingga menuju SMK Muhammadiyah jl. PB Sudirman hingga pulang lewat Patrang lagi sampai tiba di rumah jam 17.00 sore dengan membawa laba bersih Rp.40.000 untuk menghidupi dirinya, anak putrinya dan 1 cucunya karena suami dari anak putrinya yang tidak bertanggung jawab. Karena perjalanan kaki yang menempuh 30 KM setiap hari itu membuat ia sholat Dhuhur dan Asar di masjid mana saja yang kebetulan disinggahi sambil melepas lelah dengan tertidur pulas untuk sesaat.
Itulah yang dilakukan setiap harinya oleh mbok tarsih. Saat saya ketemu dan terjadi dialog kecil di sekolah, sebagai seorang kepala keluarga, sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang aktivis organisasi muhammadiyah & IMM, sebagai seorang guru, dan sebagai seorang calon anggota dewan / legislatif kabupaten yang nantinya mewakili dan membawa amanah “wong cilik” seperti mbok Tarsih itu saya merasa malu dan seakan ditampar disiang bolong. Untungnya ruh Humanitas dari sebuah oraganisasi yang membesarkan saya masih melekat, ruh teologi surat Al-Ma’un walau masih belum seberapa bila dibanding praksis-nya kyai Dahlan bergemuruh dalam hati dan meminta untuk dijalankan secara kenyataan gerakan. “Pertarungan diri” sedang berjalan dalam benak dan pikiran saya, antara bersedekah padanya atau tidak. Akhirnya kue Rp.500-an yang tinggal 12 buah saya ambil dan dibagikan ke siswa SMK muhammadiyah yang lumayan untuk mengganjal perut disiang jam 13.30. Semua seharga Rp.6000, celakanya di dompet saya hanya tinggal Rp.10.000 saja dan keluarga di rumah juga sedang tidak memegang uang. Sekali lagi “pertarungan diri” melawan nafsu duniawi berbisik “istri dan anakmu nati makan apa”?. Kalaupun susuk (kembali) Rp.4000 juga tidak cukup untuk kita makan sekeluarga. Hati kecil menjerit sedih dan dikala itu nurani mendongak ke atas, “ya Allah kuberikan Rp.6000 dan Rp. 4000 kembaliannya padanya untuk mengharap kemulyaanmu, aku yakin justru 10.000 untuk mbok Tarsih itulah milikku yang akan menemaniku di kuburanku dan membentengi kami sekeluarga dari nerakamu” desahku dalam hati. Nampak begitu bahagianya raut muka mbok Tarsih yang tiada sadar sedikit air matanya berlinang dan berucap “terima kasih nak telah ditebas dagangan saya, semoga Allah yang membalas dengan pahala dan rejeki yang lebih banyak”. Bergetar hati saya dengan doa tulus itu. Tepat jam 14.30 hari kamis, 5 Februari 2009 saya pulang dari mengajar dengan tangan hampa. Saya tidak tahu dan saya pasrah apa dan bagaimana nasib keluarga saya nanti, “Hasbunalloh wani’mal wakil Ni’mal maula wani’man Nasir wala haula wala quwwata illa billahil aliyyil adzim” (cukuplah Allah sebagai pelindung dan Dia sebaik-baik pelindung dan penolong, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah yang maha tinggi lagi maha agung) ucapku dengan tulus. Begitu sampai rumah ada pasien pribadi yang telfon sedang menuju tempat praktek minta diterapi akupuntur, setelah selesai terapi saya tarik Rp. 30.000, setelah sholat maghrib telfon berdering lagi, ternyata pasien pribadi keturunan Cina mau terapi akupuntur lagi, dan begitu selesai terapi, memberi terimakasih atas jasa pelayanan sebesar Rp.30.000. keesokan harinya Jumat, 6 Februari 2009 saat ngajar siswa saya ditelfon oleh salah satu masjid di jember untuk diminta khotib Jumat, begitu selesai ternyata saya disalami “tempel” oleh ta’mir masjid yang ketika saya kasihkan ke istri berisi uang Rp.30.000.
Subhanalloh tidak saya sangka saya dapat rejeki Rp. 90.000 dalam waktu singkat dengan cara 3 kali kejadian. Uang yang hanya Rp.10.000 disedekahkan pada mbok Tarsih berbuah Rp.90.000, 9 X lebih besar. Pertanyaan saya dalam hati, “Siapakah dibalik 2 pasien dan ta’mir masjid itu”? saya yakin Allah lah yang menggerakkan mereka untuk saya sekeluarga melalui pengabulan tulusnya doa Mbok Tarsih. Sungguh Allahush Shomad (hanya Allah lah tempat bergantung) dan maha benar Allah dalam firmannya :
“Perumpamaan orang yang bersedekah (membelanjakan hartanya) di jalan Allah adalah seperti satu biji (benih) yang darinya menumbuhkan tujuh tangkai dan masing-masing tangkai berbuah 100 biji. Dan Allah akan melipatgandakan (pahala) sedekah pada siapa saja yang mereka kehendaki. Dan Allah maha luas (pemberiannya) lagi maha mengetahui”.(Q.S. Al-Baqoroh : 261).
Semoga secuil tulisan ini bukan menjadikan riya’, justru menjadi peningkat iman khususnya bagi diri saya pribadi dan keluarga dan bagi para pembaca sekalian untuk tidak ragu bersedekah dan beramal, karena Allah membalas dengan pahala yang besar sekali baik di Akhirat nanti bahkan ketika kita masih di dunia ini. Amin 3 X .




• Penulis adalah Dai dan Perawat-Akupunturis, mahasiswa PAI UNMUH Jember, aktivis IMM, penulis buku “Seksual Pasutri” dan CALEG DPRD Kabupaten Jember nomer urut 6 untuk wilayah DP 4 (Jenggawah, Ambulu, Wuluhan, Balung, Rambi) dari partai PAN, HP : 081336385486.

0 komentar:

Posting Komentar