MEMBUNUH TUHAN
Oleh :
Idris Mahmudi, Amd.Kep.S.Pd.I.*
Email : idris_mahmudi@yahoo.co.id
Blog : www.tata-h5idris.blogspot.com
HP : 081336385486
Al-kisah seorang Mursyid (guru spiritual sufi) memiliki 7 murid dan mengumpulkannya untuk mendapat wejangan (pelajaran). Sang guru memberikan seekor burung dan sebilah pisau tajam pada masing-masing muridnya. Kemudian memerintahkan para murid menyembelih burung tersebut dengan perlengkapan pisau dimana saja dengan syarat tempat tersebut tidak ada satupun yang mengetahui. Berpencaranlah para murid tersebut. Ada yang di semak-semak, begitu kiri-kanan terlihat sepi lalu disembelihlah burung itu, begitu pula murid lainnya melakukan di tempat aman lain pula. Setelah usai semua berkumpul di hadapan mursyid memberikan laporan bahwa tugasnya sudah selesai dan dijamin tidak ada yang tahu. Tapi murid ke-7 datang masih membawa burung dan pisau tersebut di hadapan guru serta murid lainnya. Dengan heran sang mursyid bertanya ”mengapa tidak kamu sembelih?”. Jawab murid ”karena syaratnya begitu berat guru, mungkin orang tidak tahu persembunyian saya saat menyembelihnya, tapi tiada tempat yang luput dari pengawasan Allah”. Sang mursyid tersenyum dan menyatakan ke semua, murid ke-7 lah yang dinyatakan lulus ujian serta diwisuda sebagai murid teladan yang telah menyandang Ma’rifat/Mukasyafah (derajat tertinggi dalam dunia tasawuf karena telah berhasil berinteraksi dengan Tuhan).
Kisah ini seringkali dulu dikisahkan oleh dai kondang almarhum K.H. Zainudin MZ dalam ceramah-ceramahnya. Kisah tersebut kebenarannya memang perlu diklarifikasi, namun substansinya begitu dalam dan berarti bagi efek kehidupan. Jika Tuhan telah hadir dalam hati seorang hamba, maka prilakunya begitu santun selama kehidupan di dunia ini. Daripada kita berdebat soal pro-kontra kebenaran kisah diatas, lebih baik kita lihat kisah Kholifah Umar bin Abdul Aziz yang otentik kebenarannya.
Suatu ketika kholifah lembur untuk menyelesaikan tugas kenegaraan sampai larut malam dibantu penerangan lampu petromak (lampu dari minyak, baca : damar oblik) di kantor kepresidenannya. Di waktu lembur malam hari itu putranya datang mengetuk pintu. Dipersilahkanlah masuk dan ditanya ”ada kepentingan apa putraku?” jawab putranya ”mau menyelesaikan masalah keluarga kita yang belum selesai tadi”. Sang kholifah langsung mematikan lampu dan berkata ”baik, marilah kita selesaikan”. Putranya heran dan protes ”kenapa lampunya dimatikan?”. kholifah menjawab ”dari tadi saya lembur menyelesaikan masalah negara dengan fasilitas lampu negara, jika tetap saya nyalakan untuk menyelesaikan masalah keluarga kita, sungguh saya telah khianat, tidak amanah karena telah memakai fasilitas negara demi kepentingan keluarga. Saya takut neraka karena korupsi, saya malu dengan Allah”.
Mengapa murid ke-7 dalam kisah sufi tidak jadi menyembelih burung? Karena Tuhan hadir dalam dirinya. Mengapa kholifah Umar bin Abdul Aziz mematikan lampu? Karena Tuhan hadir dan mampu hidup dalam hatinya, sehingga Ia merasa dikontrol langsung oleh Tuhan. Dengan pertanyaan yang sama, mengapa koruptor merajalela di negeri ini? Mungkin Tuhan tidak mampu dihadirkan dalam diri atau justru sengaja dibunuh oleh para oknum aparat yang koruptor. Ironis sekali, negeri yang agamis yang kehidupan beragama tumbuh subur, bahkan konon 83 % masyarakatnya muslim tapi tatanan dan prilakunya tidak islami. Indonesia masih nomer 3 terkorup sedunia, nomer 1 terkorup se-Asia Pasifik. Lantas dimanakah Tuhan? Roh Mo Yun (mantan presiden Korea Utara) bunuh diri dari ketinggian tebing karena merasa malu media memberitakan dirinya di duga korupsi, padahal masih di duga. Menteri perhubungan Korea Selatan langsung mengundurkan diri sesaat setelah terjadi kecelakaan kereta api karena merasa malu telah gagal mengatur keselamatan transportasi. Terlalu banyak koruptor di negeri ini yang tidak punya malu pada rakyatnya sendiri. Kasus KEMENTRANS baru-baru ini begitu menusuk hati. Institusi keagamaan KEMENAG (nyata-nyata bersinggungan dengan Tuhan) justru menyelewengkan Dana Abadi Umat (DAU haji). Begitu banyak kecelakaan di negeri ini namun menterinya tidak malu dan tidak segera undur diri. Budaya malu sudah tidak ada lagi di negeri ini. Alih-alih merasa malu, justru bangsa ini malu-malu-in di mata Internasional. Jangan-jangan benar anekdot Najwa Shihab ”jika di zaman ORLA korupsi sembunyi-sembunyi di bawah meja, di zaman ORBA korupsi terjadi diatas meja, era reformasi korupsi makin gila, karena tidak dibawah atau diatas meja, namun mejanya pun dikorupsi dan dibawa lari”.
Sebagai anak bangsa penulis merasa malu dengan negara Cina yang berideologi komunis namun justru lebih islami dari Indonesia. Dulu korupsi di Cina susah diberantas, tapi sejak 2003 Hu Jin Tao diangkat jadi presiden dengan singkat dan tegas dalam sambutan kepresidenannya berkata ”sediakan 100 peti mati bagi para koruptor, dan sisakan 1 untuk saya jika kalian dapati saya korupsi”. Sejak saat itu koruptor dihukum mati di Cina, dan luar biasa angka koruptor menurun drastis di Cina karena efek jera hukuman mati. Bagaimana hukuman korupsi di Indonesia? Alih-alih dihukum mati, justru ada koruptor yang penjaranya seperti hotel bintang 5, ada salonnya bahkan ada sarana karaokenya. Anehnya Gayus Tambunan justru bisa keluar nonton bulu tangkis ke Bali. Hukuman mati tidak diterapkan sehingga tidak menimbulkan efek jera. Seandainya hukuman mati diterapkan bagi para koruptor, secara pribadi penulis tidak sepakat. Karena Indonesia dengan Cina sangatlah berbeda, yang pantas untuk koruptor Indonesia bukanlah dihukum mati tapi mungkin dimutilasi, karena begitu mengguritanya white collar crime dalam klasifikasi extra ordinary crime ini.
Tidak ingatkah kita dengan deklarasi Muhammad SAW ”Demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, jika Fatimah putriku mencuri biarlah Muhammad yang memotong tangannya”. Bukankah deklarasi presiden Cina yang anti Tuhan (komunis) justru lebih islamis karena bersesuaian dengan deklarasi universal nabi? Mengapa negeri ini yang dasarnya pancasila yang sila pertamanya ketuhanan yang maha Esa mengutip Prof. Dr. Amien Rais, M.A justru berubah jadi keuangan yang maha kuasa, sehingga yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan. Posisi kekuasaan Tuhan sudah digeser dan dikuasai keuangan.
Dari atas turun ke bawah, fenomena hilangnya Tuhan dari birokrasi merambat ke generasi. Disaat menyampaikan kuliah umum ke mahasiswa, penulis iseng melontarkan angket “faktor apa saja yang paling ditakuti remaja jika melakukan free sex menurut anda?”. Dari 56 responden terlihat 1. takut hamil = 41 %. 2. takut dosa/takut laknat Tuhan/takut masuk neraka = 39 %. 3. takut terkena HIV-AIDS = 20 %. Berikutnya dengan nilai lebih kecil takut ketahuan orang tua, dan takut dikucilkan keluarga dan masyarakat. Sebuah data yang mencengangkan, generasi muda kita lebih takut terjadi hamil dari pada pada Tuhan. Sungguh iman mulai tipis, dosa mulai tiada dan Tuhan mulai enggan menyapa karena Dia sudah di nomer dua-kan (menempati prioritas nilai ke-2). Karena Tuhan nomer 2, pantaslah jika di Jawa Timur (tahun 1992) 47% remajanya pernah melakukan hubungan seks pra-nikah, di Bali (tahun 1990) 90% remajanya pernah berhubungan seks bebas.(Mahmudi, 2009 : 86). Bahkan Penelitian baru-baru ini di Jogjakarta (tahun 2003 oleh Iip Wijayanto dalam bukunya sex in the kost) menyatakan 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah tidak perawan lagi.(Babun Suharta, 2011 : 2).
Ayo kita bina lagi generasi, ayo kita tata lagi birokrasi dengan menghidupkan Tuhan kembali ke dalam diri. Kita bukanlah penganut Karl Marx yang bergumam “the relegion is opium”(agama adalah candu/sesuatu yang meracuni). Kita juga bukan penganut Nietszhe yang mengigau “God is died”(Tuhan telah mati) dan mendeklarasikan kematian Tuhan karena merasa frustasi tidak menemukan Tuhan dalam pencariannya. Kita adalah umat yang meminjam terminologi Ihsan “beribadah (melakukan perbuatan apa saja) seakan-akan mampu melihat Allah, namun jika tidak mampu melihat-Nya yakinlah bahwa Dia pasti melihat segala perbuatan kita”. Dengan begitu kita tidak perlu polisi atau KPK, karena Tuhan yang mengontrol kita. Jika kita tidak sadar dari koma ini, kondisi bagsa dan generasinya akan makin parah. Mungkin kita tidak membunuh Tuhan, tapi dengan data jawaban remaja diatas Tuhan telah di nomer duakan, Tuhan telah di-marginalkan, dan jangan-jangan hal itu adalah proses untuk membunuh Tuhan secara perlahan. Astaghfirullohal Adziim...
• Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Jember, Dai dan Perawat-Akupunturis, penulis buku “Panduan Lengkap seks Islami ditinjau dari Segi Al-Qur’an, hadis dan Medis”, dan dosen bantu di FIKES UNMUH Jember.
curhat
Tuhan Yang Hilang
PROPOSAL FREE SEKS
PROPOSAL
MENYELAMATKAN GENERASI BANGSA
DARI MUSUH BERSAMA
(FREE SEX DAN NARKOBA)
TIM 3
KLINIK KEPERAWATAN AKUPUNTUR JEMBER
Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.
Ust. Suwito, Al-Hafidz
Eli, S.Pd.
1. Pendahuluan.
A. Latar Belakang.
Remaja adalah generasi penerus bangsa, dimana baik buruknya suatu bangsa ke depan tergantung bagaimana kondisi remaja sebagai generasi muda saat ini. Secara kuantitatif yang dikatakan remaja adalah mereka yang usianya antara 12-21 tahun (Sarwono, 2002 : 98). Jika kita lihat pada rentang usia itu, maka nampaklah bahwa dalam kaidah pendidikan formal mereka sedang menikmati bangku SMP, SMA dan kuliah di perguruan tinggi. Predikat siswa/siswi disandang bagi yang masih SMP dan SMA, sedang predikat mahasiswa/mahasiswi disandang bagi yang kuliah di perguruan tinggi. Artinya di pundak siswa SMP, SMA dan Mahasiswa lah Indonesia 10-20 tahun ke depan nasib positif dan negatifnya. Jika keseluruhan sikap dan prilaku mereka positif, maka harapan bangsa ini begitu cerah. Tapi jika sikap dan prilaku mereka hari ini negatif, sungguh suram masa depan bangsa ini di masa mendatang.
Sering idealita bertolak belakang dengan realita. Era globalisasi cukup mewarnai kehidupan remaja kita terutama mereka yang masih di bangku SMP dan SMA. Tentu kita tidak menafikan prestasi siswa-siswa yang gemilang, tapi berbagai kenakalan remaja juga sering menghiasi media bangsa ini, baik cetak maupun elektronika. Mulai dari tawuran antar siswa, terjerat narkoba sampai terjerumus dalam pergaulan bebas / free sex. Data yang diungkap badan narkotika nasional, hampir 3 juta remaja di Indonesia terjerat narkoba. Sementara itu, kenakalan remaja dalam bentuk pergaulan bebas hingga ke seks bebas lebih memprihatinkan lagi. Sekitar 5 juta siswa SMP dan SMA di Indonesia sudah pernah berhubungan intim (Kompas, 10-8-2007). Di tahun 2009, 40 % siswa SMP dan SMA di Bali sudah pernah berhubungan intim. Hasil penelitian Fathur Rohman. Dari 10 SMU kelas 3 di Surakarta dengan 611 siswa dan 639 siswi,didapatkan hasil :
Prilaku seks Pria Wanita Total
Pernah melakukan hubungan seksual 139 25 164
Tidak pernah berhubungan seksual 472 614 1250
Bahkan dari 639 siswi 24 % sudah melakukan hubungan seksual 1-2 X / minggu.(Jurnal penelitian Humaniora Vol. 6 No. 2, tahun 2005 : 115-129). Yang lebih memilukan lagi 62,7 % siswa SMP yang masih bau kencur sudah pernah berhubungan intim layaknya suami-istri (Cornelius@mediaindonesia.com).
Masalah seksualitas, dari tahun ke tahun angkanya semakin meningkat dan mengerikan. Tahun 1976, 9,6% remaja menyetujui adanya seks pra-nikah, tahun 1978 meningkat 10% remaja terlibat free sex, tahun 1981 menjadi 17,02% remaja free sex. Bahkan Penelitian baru-baru ini di Jogjakarta (tahun 2003) menyatakan 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah tidak perawan lagi.(lihat Iip Wijayanto dalam “Sex In The Kost”, dan Koran Kedaulatan Rakyat, 18 September 2003 halaman 1 : Virginitas Mahasiswi). Sedang hasil Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menyatakan 26% dari 359 remaja Jogja telah berhubungan seks. Melihat dari tempat dan daerah pun, prilaku Pre-Marital Intercourse (free sex) juga bermacam-macam. Penelitian pada pelajar SMU di Jawa Tengah tahun 1995, 10% dari mereka sudah pernah melakukan hubungan seks pra-nikah, di Jawa Timur (tahun 1992) 47% remajanya pernah melakukan hubungan seks pra-nikah, di Bali (tahun 1990) 90% remajanya pernah berhubungan seks bebas.(Mahmudi, 2009 : 86). The Allen Guttmacher Institute menyatakan bahwa 93 persen dari anak remaja puteri yang disurvei mengaku bahwa persetubuhan pertama mereka adalah "keinginan mereka sendiri".
National Survey of Family Growth pada tahun 1988 melaporkan bahwa 70-80% remaja yang melakukan seks pra-nikah pertama kali dilakukan saat mereka pubertas yaitu saat usia 15-19 tahun. Jika melihat rentang usia itu berarti mereka masih di bangku SMP dan SMA. Jika kita merenung sejenak, itu adalah angka yang didapatkan saat tahun 1988, bagaiman kondisi saat ini ?
Sekali lagi ditegaskan bahwa nasib bangsa ada di tangan mereka, remaja khususnya siswa-siswi SMP dan SMA saat ini. Jika mereka tidak dibentengi oleh serangan seks bebas dan obat-obat terlarang / narkoba, maka hancurlah masa depan negeri ini. Oleh karena itu kami atas nama tim 3 klinik keperawatan akupuntur jember dengan penuh rasa peduli menawarkan solusi ke bapak / ibu pimpinan institusi sekolah baik SMP maupun SMA beserta dewan guru lainnya berupa pembinaan siswa dalam bentuk penyuluhan bahayanya narkoba dan seks bebas. Semua usaha ini semata-mata dilakukan demi menyelamatkan aset bangsa yang sangat berharga ini.
B. Tujuan
Seacara garis besar acara ini bertujuan untuk :
1. Mencegah terjadinya kenakalan remaja dalam bentuk narkoba, miras, dan pergaulan bebas / seks bebas.
2. Membekali siswa / siswi akan bahayanya narkoba, seks bebas dan penyakit menular seksual (HIV-AIDS).
3. Membatu proses pembinaan moral bagi guru agama, guru BK dan guru-guru lainnya di Institusi sekolah baik SMP / MTs maupun SMA / MA / SMK negeri ataupun swasta.
4. Meningkatkan motivasi dan semangat belajar para siswa serta memfokuskan pendidikan yang menjadi tanggung jawab utama mereka.
5. Ikut berkontribusi dalam pembentukan karakter bangsa melalui penciptaan generasi bangsa yang tagguh ber-IPTEK dan ber-IMTAQ.
C. Metode Materi Penyuluhan.
Acara ini dikemas dalam bentuk penyuluhan yang didalamnya terjadi interaksi diskusi dan tanya jawab antara tutor dan para siswa, dimana tutor menyampaikan input terlebih dahulu lewat presentasi. Adapun materi yang akan diberikan sebagai bekal siswa adalah :
No. Materi Durasi Pemateri
1. Pengenalan anatomi & fungsi organ reproduksi manusia (pria dan wanita) 90 menit Andrik Hakim, S.Kep; Ners.
2. Narkoba & seks bebas ditinjau dari Agama 90 menit Ust. Suwito, Al-Hafidz
3. Narkoba & seks bebas ditinjau dari psikologi dan kehidupan sosial remaja 90 menit Eli, S.Pd.
4. Narkoba & seks bebas ditinjau dari sisi medis & kesehatan, (analisa dampak) 90 menit Idris mahmudi, Amd.Kep; S,Pd.I.
5. Membangkitkan motivasi belajar 90 menit Dian wahana Putra, S.Pd.I.
Total 450 menit
Tekniknya 60 menit tutor memberi input lewat presentasi, 30 menit diskusi. Ke 5 materi diatas tidaklah kaku, namun fleksibel tergantung situasi dan kondisi. Kepala sekolah maupun para dewan guru diberi keleluasaan untuk memilih. Bisa diberikan semuanya atau dipilih mana yang dianggap prioritas dan paling penting.
D. Sarana dan Prasarana.
Yang dibutuhkan untuk acara penyuluhan ini adalah : ruangan atau kelas untuk 40-50 siswa, laptop, LCD, layar proyektor, sound laptop / komputer, kabel sambungan untuk laptop, LCD dan sound, foto copy angket sebanyak siswa yang menjadi peserta.
Angket ini berisi pertanyaan-pertanyaan yang dibuat oleh tim bersama para guru yang berfungsi untuk mengetahui dan memetakan prilaku siswa yang terjadi saat ini. Ha ini berguna untuk masukan bagi guru dan sekolah. Data bersifat rahasia dan menjadi hak sekolah secara mutlak, tim 3 hanyalah fasilitator dan tidak akan mempublikasikan kecuali diizinkan pihak terkait.
E. Dana.
Dana yang dibutuhkan dalam acara ini :
1. Honorarium pemateri : @ Rp. 100.000 X 5 = Rp. 500.000
2. Konsumsi pemateri : @ Rp. 10.000 X 5 = Rp. 50.000
3. Foto Copy angket / kuesioner (sebanyak siswa) : kurang lebih Rp. 20.000
4. Lain-lain / tak terduga : Rp. 30.000
Total : Rp. 600.000
F. Waktu Pelaksanaan.
Waktu dan tempat pelaksanaan acara penyuluhan ini fleksibel tergantung kebijakan sekolah yang bersangkutan, yang terpenting adalah adanya saling komunikasi dan kordinasi dengan tim 3 klinik keperawatan akupuntur Jember setidaknya 1 minggu sebelum hari pelaksanaan harus kontak ke kordinator inti tim 3, yaitu Idris Mahmudi, Amd. Kep; S.Pd.I. : 081336385486. hal ini dimaksudkan demi kematangan persiapan tim pemateri.
G. Kualifikasi Pemateri.
Latar belakang dan kiprah pemateri :
1. Idris mahmudi, Amd.Kep; S,Pd.I. : lulusan D3 Keperawatan UNMUH jember, Lulusan S1 Pendidikan Agama Islam UNMUH Jember, saat ini sedang menempuh S2 di STAIN Jember. Dosen FIKES UNMUH Jember, Perawat-akupunturis dan dai muda yang aktif di organisasi Muhammadiyah.
2. Ust. Suwito, Al-Hafidz : Pengasuh pondok hafalan Al-Qur’an UNMUH Jember, hafidz Al-Quur’an 30 juz, ahli Ruqyah, dan saat ini sedang menyelesaikan program S1 Psikologinya di UNMUH Jember.
3. Eli, S.Pd. : aktivis organisasi Aisiyah, seorang guru, sangat keibuan terutama bagi para remaja, dan saat ini sedang menempuh S2 untuk jurusan Bahasa Inggris.
4. Andrik Hakim, S.Kep; Ners. : lulusan D3 Keperawatan dan S1 Keperawatan FIKES UNMUH Jember. Pembimbing praktek dan guru SMK Muhammadiyah Jember jurusan keperawatan, saat ini sedang menempuh program hafalan Al-Qur’an di PONPES UNMUH jember.
5. Dian Wahana Putra, S.Pd.I. : lulusan S1 Pendidikan Agama Islam UNMUH Jember, guru SMP Muhammadiyah Rambi, dai muda dan saat ini di amanahi sebagai ketua organisasi IMM tingkat kabupaten.
H. Penjaminan Mutu.
Pasca siswa menerima materi dan ikut penyuluhan preventif narkoba dan free sex ini, secara otomatis sikap dan prilaku siswa akan berubah ke arah positif. Namun sebagaimana pasang surutnya nafsu manusia, kekuatan perubahan itu maksimal bertahan 1 bulan tergantung iman dan pertahanan diri masing-masing siswa, juga keberlanjutan pembinaan dari semua guru. Layaknya sebuah baterai yang terpenting adalah kontinuitas meng-charge-nya karena itulah proses pembelajaran dan pembentukan karakter calon penerus bangsa.
2. Penutup.
Demikian sekilas tawaran solusi kami untuk sekolah guna membentengi siswa-siswi SMP / MTs, dan SMA / MA / SMK demi masa depan yang lebih cerah. Jika tawaran solusi ini dianggap positif, kami menunggu kontak komunikasi dari bapak / ibu pimpinan dan para dewan guru semua.
khutbah idul adha
RENUNGAN IDUL ADHA
Oleh :
Idris Mahmudi, Amd.Kep.S.Pd.I.*
Email : idris_mahmudi@yahoo.co.id
Blog : www.tata-h5idris.blogspot.com
HP : 081336385486
Idun secara etimologi berarti hari raya, bisa juga diartikan kembali. Adha berarti menyembelih, Idul Adha = hari raya penyembelihan. Hal ini maklum, karena dihari itu umat muslim seluruh dunia disunnahkan (dianjurkan) untuk melakukan penyembelihan hewan bagi yang mampu dan dagingnya dibagikan pada mereka yang belum mampu sebagai uapaya ibadah dan pendekatan pada Tuhan. Dengan nada sinis orientalis melontarkan istilah ”sadistic killing” pada umat muslim terhadap ibadah kurban ini. Sungguh ucapan yang menusuk hati dan statemen yang keluar tanpa toleransi. Barat yang orientalis dan cenderung materialis begitu cepat menyimpulkan yang fisis lalu mengabaikan yang metafisis. Wajar saja kemudian jika budaya nudis berkembang di komunitas barat, karena iman mereka sudah terkikis. Apa yang mereka katakan sebagai ”sadistic killing” sebenarnya tidaklah demikian kiranya. Penyembelihan itu kita sebut sebagai kurban yang berasal dari kata qorroba – qurbaanan yang berarti mendekatkan. Mendekatkan apa ? Mendekatkan diri kepada Tuhan.
Selain disebut Idul Adha, dan Idul Qurban, hari ini juga disebut dengan Idul Haji karena pada bulan ini umat muslim seluruh dunia diwajibkan menunaikan ibadah haji bagi yang telah mampu. Sangat banyak hikmah yang bisa diambil dari Idul Adha ini, namun disini penulis hanya menyampaikan 3 hikmah saja dari makna Idul Adha sebagai renungan kita bersama. Pertama Idul Adha menyiratkan pesan kemerdekaan (freedom). Kemerdekaan itu dicerminkan dengan anjuran penyembelihan hewan. Secara fisik hal itu seakan menyakiti hewan, namun lebih dalam hal itu adalah semangat untuk berbagi pada sesama, merasakan sesama dan hidupnya sense of social. Bahkan penyembelihan itu merupakan simbol kita menyembelih sifat-sifat kebinatangan kita. Manusia adalah makhluk termulia jika dibanding dengan makhluk lainnya. Ia lebih mulia dari Malaikat apalagi binatang, namun jangan lupa bahwa manusia juga berpotensi menjadi sifat malaikat dan juga bisa menjadi sifat binatang bahkan lebih rendah lagi. Jika ketaqwaan manusia subur, malaikatpun memujinya bahkan sujud (menghormat) padanya. Jika nafsunya yang dominan, maka maksiat didewakan sehingga ia sama dengan sifat binatang bahkan Qur’an menyatakan bisa lebih rendah dari binatang.
Manusia berbeda dengan binatang, namun sifat kemanusiaan bisa luntur jika meniru sifat binatang. Banyak sifat yang membedakan manusia dengan binatang. Diatara yang membedakan manusia dengan binatang adalah sifat rakus. Rakus adalah stigma untuk binatang. Namun terkadang kita merenung sebenarnya siapa yang rakus, manusia atau binatang ? Dalam pelajaran biologi kita dikenalkan dengan istilah herbivora (hewan pemakan rumput misal sapi). Yang menarik sapi hanya makan rumput/dedaunan saja, ia tidak mau mie ataupun spageti, Carnivora pun begitu. Ternyata manusia di kelompok Omnivora (pemakan segala), akankah ini meingindikasikan manusia itu rakus ? Seakan manusia malah lebih rakus dari pada hewan. Sampai detik ini belum ada hewan pemakan api, tapi manusia sudah mampu memakan api (baca = merokok). Sepertinya perlu istilah baru untuk mahluk pemakan api ini. Jika kita berasal dari desa tentu kita tahu hewan yang dikenal bajing. Umum dikenal masyarakat desa bahwa bajing itu binatang yang rakus, tapi serakus-rakusnya bajing paling hanya kelapa yang dimakan. Tapi bajingan, bukan hanya kelapa, bahkan beras, uang, aspal, batu, gunung, kabel listrik, kayu jati pun dimakan. Karena kerakusan bajingan gunung bisa habis, dan hutan jadi gundul yang kemudian berakibat kerusakan, banjir maupun longsor.
Sifat kedua yang membedakan manusia dengan binatang adalah rasa malu. Bahkan Rosul SAW menegaskan ”malu itu sebagian dari iman”. Sapi tidak malu tidak berbaju dan kelihatan aurotnya. Harusnya manusia malu jika aurotnya terlihat, namun faktanya justru aurot manusia diumbar bahkan bangga dipamerkan. Itu kan sama dengan binatang. Ayam jantan mengejar ayam betina lalu melampiaskan syahwatnya tanpa ada komitmen (pernikahan) bahkan dilakukan di halaman sekolah tatkala upacara bendera sedang berlangsung, banyak manusia berbaris menyaksikannya si ayam enjoy saja. Hari ini perselingkuhan terjadi, remaja kita tanpa risih berciuman di tempat umum, bahkan berhubungan intim di semak-semak, ini kan lebih dari hewan. Data yang lebih mengerikan 62 % siswa/siswi SMP sudah pernah berhubungan seksual. Jika ayam melakukannya, itu hal yang wajar walau tanpa komitmen pernikahan ataupun ditempat umum, tapi bagi manusia ? Manusia memang memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi, tapi bukan berarti rakus. Manusia juga punya syahwat yang harus disalurkan, tapi bukan berarti tanpa kontrol. Disinilah peran agama mengaturnya, dan spirit Idul Adha ini adalah simbol kemerdekaan manusia dari sifat kebinatangan. Menyembelih binatang dalam Idul Qurban ini berarti menyembelih nafsu/sifat-sifat kebinatangan agar mengembalikan alam nasut (kemanusiaan) sebagai insan kamil bahkan lebih mendekatkan diri ke alam Lahut (dimensi ketuhanan yang suci yang menjadi sifat dasar ruh manusia).
Hikmah ke-2 dari Idul Adha adalah bulan yang menyiratkan Jihad (kesungguhan). Ismail yang begitu membahagiakan Ibrahim karena sekian tahun diidamkan beserta istri ke-2 nya harus ditinggalkannya di padang tandus yang tidak berpenghuni bahkan tak ada air untuk menunjang kehidupan. Untuk apa itu jika bukan karena ingin bersungguh-sungguh melaksanakan perintah Allah, ingin sungguh-sungguh menjadi hamba Allah yang taat dan mendekatkan pada-Nya. Ribuan jamaah haji dari Indonesia yang konon harus mengeluarkan biaya 30-35 juta, sebulan meninggalkan keluarga, bahkan kepanasan dan berdesak-desakan di Mekkah, buat apa ? Niat dan kesungguhan untuk beribadah, mendekatkan diri pada Tuhan itulah yang melandasinya. Kita bukanlah kaum materialisme pemuja Karl Marx yang melakukan sesuatu hanya atas dasar materi. Kita juga bukan kaum behaviorisme pemuja Ivan Pavlov yang melakukan sesuatu atas dasar adanya stimulus dan respon. Kita adalah umat islam penganut ajaran yang disampaikan Muhammad SAW yang melakukan sesuatu atas dasar kepentingan baik dunia-maupun akhirat. Kesungguhan itulah yang memuliakan kita dari penganut apapun karena mampu melihat yang fisik dan meyakini yang metafisik. Justru dengan keyakinan terhadap yang metafisik (iman), menjadikan kehidupan ini lebih berarti.
Makna ke-3 dari Idul Adha berarti bulan persamaan manusia. Semua yang berhaji berpakaian yang sama dan berfokus pada yang sama (menuju dan hanya untuk Allah). Sebenarnya Idul Adha mengingatkan kita bahwa semua manusia itu sama, dilahirkan telanjang mati juga telanjang, hanya diselimuti kain kafan. Iman dan taqwa manusia lah yang membedakan di hadapan Allah. Gelar yang berderet, segala jabatan dan pangkat yang melekat semua itu akan tanggal di hadapan Tuhan. Jadi meminjam terminologinya Muhammad Iqbal, Idul Adha ini berfungsi untuk memanusiakan kembai manusia itu. Ya Allah ya Robi, terimalah ibadah kami, terimalah qurban kami dan terimalah haji kami.
• Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Jember, Dai dan Perawat-Akupunturis, sekretaris majelis tabligh PCM Sumbersari, penulis buku “Panduan Lengkap seks Islami ditinjau dari Segi Al-Qur’an, hadis dan Medis”, dan dosen bantu di FIKES UNMUH Jember.
Manajemen Mutu Terpadu
PENUGASAN TERSTRUKTUR
Mata Kuliah : Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan.
Dosen pembina : Dr. Muksin; M.P.
Sub Tema : Kosep Mutu dan Prinsip Manajemen Mutu terpadu.
Disusun Oleh : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.
Email : idris_mahmudi@yahoo.co.id
PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
TAHUN 2011 / 2012
PENDAHULUAN
Tuntutan akan lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang membuka peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan di pasar kerja akan semakin berat. Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi pemerintah dalam fungsinya sebagai penyelenggara pembangunan di bidang pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan untuk mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan. Usaha peningkatan mutu layanan pendidikan tersebut salah satu di antaranya adalah dengan menerapkan manajemen mutu terpadu (Total Quality Management).
Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan ini lebih populer dengan sebutan Total Quality Education (TQE). Dasar dari manajemen ini dikembangkan dari konsep Total Quality Management (TQM), yang pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis kemudian diterapkan pada dunia pendidikan. Secara filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan. (Sallis, 2010 : 5-6). Oleh karena itu konsep TQM sampai saat ini telah memperoleh dukungan resmi dari 16 institusi pendidikan. (Sallis, 2010 : 46)
PEMBAHASAN
Konsep Mutu
Mutu memiliki pengertian yang bervariasi. Mutu adalah sebuah hal yang berhubungan dengan gairah dan harga diri.(Tom Peters dan Nancy Austin dalam Sallis, 2010 : 29). Sebenarnya mutu tidaklah sama dengan high quality maupun top quality. Mutu merupakan sebuah cara yang menentukan apakah produk terahir sesuai dengan standar atau belum. Produk atau layanan yang memiliki mutu, dalam konsep relatif tidak harus mahal dan ekslusif.
Istilah mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan. Pelanggan (disini adalah internal dan eksternal) bisa berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk dan jasa tersebut.
Dalam era kompetitif, adanya standar mutu mutlak diperlukan. Iklim persaingan yang semakin kuat tersebut menuntut keharusan agar semua organisasi dalam hal ini adalah institusi pendidikan yang ada harus mampu membuat produk yang bermutu. Organisasi/institusi dituntut untuk memenuhi tuntutan tersebut, untuk itulah dibutuhkan kapasitas manajemen dengan karakteristik : 1) bergerak secara lebih efektif atas dasar visi dan misinya, 2) selalu berusaha memenuhi pelanggan, 3) kegiatannya bersifat proaktif, 4) mengejar daya saing, 5) anggotanya lebih tekun bekerja (industrious), 6) anggotanya harus lebih giat berusaha (entreprising), 7) pimpinannya mau mengerahkan seluruh karyawan dengan pemberdayaan (empowerment), pimpinannya mendorong karyawan untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan kecakapan supaya mutakhir dan relevan dengan tugas, 9) perencanaannya terpadu, pelaksanaan dan pengendalian terdesentralisasi (Hardjosoedarmo, 1997).
Dugaan dan penafsiran yang sering timbul bahwa "mutu" diartikan sebagai sesuatu yang : 1. Unggul dan bermutu tinggi, 2. Mahal harganya, 3. Kelas, tingkat atau bernilai tinggi. Dugaan dan penafsiran tersebut di atas kurang tepat untuk dijadikan dasar dalam menganalisa dan menilai mutu suatu produk atau pelayanan. Tidak jauh berbeda dengan kebiasan mendefinisikan "mutu" dengan cara membandingkan satu produk dengan produk lainnya. Misalnya jam tangan Seiko lebih baik dari jam tangan Alba. Secara singkat mutu dapat diartikan : kesesuaian penggunaan atau kesesuaian tujuan atau kepuasan pelanggan atau pemenuhan terhadap persyaratan. Mutu dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang memuaskan dan melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan. Definisi ini disebut juga dengan istilah mutu sesuai persepsi pelanggan (quality in perception), disamping mutu juga dapat muncul dari produsen/internal organisasi/institusi (quality in fact). Jadi, Prinsip mutu yaitu memenuhi kepuasan pelanggan (customer satisfaction). (Sallis, 2010 : 56).
Konsep TQM
TQM adalah sebuah filosofi tentang perbaikan secara terus-menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya, saat ini dan untuk masa yang akan datang. (Sallis, 2010 : 73). TQM adalah suatu keinginan untuk selalu mencoba mengerjakan segala sesuatu dengan “selalu baik sejak awal”(right first time every time). Kata total (terpadu) dalam TQM menegaskan bahwa setiap orang yang berada di dalam organisasi harus terlibat dalam upaya melakukan peningkatan secara terus-menerus. Kata manajemen dalam TQM berlaku bagi setiap orang, sebab setiap orang dalam sebuah institusi, apapun status, posisi atau peranannya, adalah manajer bagi tanggung jawabnya masing-masing. (Sallis, 2010 : 74). Manajemen Mutu Terpadu (MMT) adalah filosofi dan sistem untuk pengembangan secara terus menerus (continuous improvement) terhadap jasa atau produk untuk memenuhi kepuasan pelanggan (customer satisfaction) (Pulungan, 2001; Fitzgerald, 2004).
Sistem pengembangan secara terus menerus dan kepuasan pelanggan merupakan kalimat yang selalu ada dalam setiap definisi yang dikemukakan pakar terhadap MMT. Sistem pengembangan secara terus menerus menggambarkan bahwa MMT memiliki titik tekan pada proses dan bekerja dengan mendasarkan pada sistem. Para ahli manajemen telah banyak mengemukakan pengertian MMT, disini dikemukakan beberapa definisi saja sebagai kerangka kajian selanjutnya. Sallis Edward dalam Gasperz (2001:146) mengemukakan bahwa “Total Quality Management is a philosophy and methodology which assists institutions to manage change and to set their own agendas for dealing with plethora of new external pressures”. Nyata sekali, bahwa pendapat tersebut menunjukkan bahwa MMT bukan sekedar prosedur atau tahapan-tahapan dalam menyelesaikan suatu masalah, tetapi sebuah filsafat dan metodologi untuk membantu lembaga dalam mengahadapi perubahan agar selalu sesuai dengan kebutuhan dan harapan pihak-pihak luar atau stakeholder. Definisi tersebut hampir mirip dengan yang dikemukakan oleh Robins, Bregman, Stag, dan Coulter (2003) yang menyatakan bahwa “Total Quality Management (TQM) is a philosophy of management that is driven by customer needs and expectation and that focuses on continual improvement in work processes”. Sedangkan Kovel Jarboe dalam Syafaruddin (2002), Sherr & Gregory (2004) mengemukakan bahwa MMT adalah suatu filosofi komprehensif tentang kehidupan dan kegiatan organisasi yang menekankan perbaikan berkelanjutan sebagai tujuan fundamental untuk meningkatkan mutu, produktifitas, dan mengurangi pembiayaan. Pendapat ini membuktikan bahwa MMT merupakan manajemen yang tidak hanya mementingkan produk tetapi lebih mementingkan proses.
Produk yang bermutu pasti dihasilkan oleh proses yang bermutu pula. Untuk dapat mencapai proses yang bermutu, organisasi harus memiliki filosofi yang menyeluruh terhadap mutu yang dipahami oleh semua komponen organisasi. Dengan difahaminya filosofi tersebut, seluruh komponen organisasi akan selalu melakukan pekerjaan sebaik mungkin, sehingga dapat terhindar dari berbagai kesalahan dalam meningkatkan efisiensi. Jelaslah, bahwa MMT bukan hanya milik manajer puncak saja, tetapi MMT merupakan manajemen yang mencakup semua orang, semua pekerjaan dan semua proses dalam organisasi seperti yang didefinisikan Burnham (1997: 9). Dari berbagai penjelasan di atas maka MMT memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Selalu fokus pada pelanggan. Dalam konsep mutu terpadu pelanggan adalah raja. (Sallis, 2010 : 59). Pelanggan yang dimaksud adalah bukan hanya pihak luar yang merupakan pembeli jasa atau produk dari organisasi tetapi juga pelanggan internal, yaitu orang yang berinteraksi pada layanan satu dengan layanan yang lain dalam organisasi. Pelanggan disini terbagi 2, yaitu pelanggan internal (staf, TU, guru, dosen) dan pelanggan eksternal yang lebih jelas diklasifikasikan : pelanggan utama : pelajar/peserta didik yang secara langsung menerima jasa. Pelanggan ke-2 : orang tua yang memiliki kepentingan dengan institusi. Pelanggan ke-3 yaitu pihak yang memiliki peran penting meski tak langsung, seperti pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. (Sallis, 2010 : 68).
2. Perhatian pada kegiatan pengembangan secara berkelanjutan. TQM memiliki komitmen untuk tidak pernah puas dengan suatu kualitas. Kualitas yang diinginkan bukan hanya “baik” tetapi harus “sangat baik”. Organisasi memiliki filosofi bahwa kualitas selalu dapat dikembangkan.
3. Fokus pada proses. TQM memfokuskan pada proses kerja untuk menghasilkan barang dan jasa sehingga selalu harus dilakukan pengembangan secara berkelanjutan.
4. Pengembangan mutu pada keseluruhan organisasi. TQM menggunakan definisi mutu yang sangat luas. Tidak hanya berkaitan dengan produk dan layanan akhir, tetapi juga bagaimana organisasi melakukan proses pengiriman, banyaknya komplain, dan bagaimana menangani komplain dengan sopan.
5. Pengukuran yang akurat. TQM menggunakan teknik statistik untuk mengukur setiap variabel penting dalam kegiatan organisasi. Hal tersebut dilakukan melalui kegiatan-kegiatan membandingkan dengan standar yang berbeda atau melalui kegiatan benchmark untuk mengidentifikasi masalah, menulusuri akar masalah, dan menghilangkan penyebab dari masalah tersebut.
6. Pemberdayaan sumber daya manusia. TQM menempatkan manusia sebagai sesuatu yang harus dikembangkan dalam upaya untuk mengembangkan proses. Tim kerja merupakan hal yang harus dikembangkan dalam kaitan untuk menemukan dan menyelesaikan masalah dalam organisasi.
Konsep inti dari MMT adalah konsep tentang sistem, manajemen dengan mendasarkan fakta dan proses manajemen yang mendasarkan pada siklus PDCA (Plan, Do, Chek, Action). Namun demikian Sytsma (2004 : 5) membagi konsep tersebut menjadi dua yaitu konsep inti dan konsep pendukung.
Konsep Inti :
1. Konsep sistem dan analisis sistem.
2. Variasi proses, termasuk sebab-sebab umum dan variasi sebab-sebab khusus.
3. Proses pengendalian dengan statistik (statistical process control) dan bagan kontrol untuk mengidentifikasi sebab-sebab khusus.
4. Siklus PDCA untuk pengembangan secara terus menerus mendasarkan pada analisis variasi sebab-sebab umum.
5. Alat-alat untuk mengidentifikasi akar penyebab masalah dan bantuan dalam mengimplementasikan proses yang baru.
Konsep Pendukung :
1. Penekanan pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal.
2. Isu-isu pekerja yang meliputi : Pemberdayaan, Tim, Nilai-nilai pekerja, Penekanan pada pendidikan dan pelatihan.
Total quality management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, tenaga kerja, proses, dan lingkungannya. Untuk mencapai usaha tersebut digunakan sepuluh unsur utama TQM, empat prinsip TQM, dan tiga metode TQM. Salah satu tujuan TQM adalah memberikan kepuasan pelanggan. Mekanismenya memahami harapan pelanggan melalui tiga tingkatan, yaitu dimulai dengan menampung keluhan, analisis penjualan dan umpan balik dari konsumen, dan wawancara pribadi dengan konsumen.
Manajemen mutu adalah aspek dari seluruh fungsi manajemen yang menetapkan dan melaksanakan kebijakan mutu. Pencapaian mutu yang diinginkan memerlukan kesepakatan dan partisipasi seluruh anggota organisasi, sedangkan tanggung jawab manajemen mutu ada pada pimpinan puncak. Untuk melaksanakan manajemen mutu dengan baik dan menuju keberhasilan, diperlukan prinsip-prinsip dasar yang kuat. Prinsip dasar manajemen mutu terdiri dari 8 butir, sebagai berikut :
1. Setiap orang memiliki pelanggan.
2. Setiap orang bekerja dalam sebuah sistem.
3. Semua sistem menunjukkan variasi.
4. Mutu bukan pengeluaran biaya tetapi investasi.
5. Peningkatan mutu harus dilakukan sesuai perencanaan.
6. Peningkatan mutu harus menjadi pandangan hidup.
7. Manajemen berdasarkan fakta dan data.
8. Fokus pengendalian (control) pada proses, bukan hanya pada hasil out put.
Secara singkat prinsip MMT bisa dirangkum :
1. Fokus pada pelanggan: Mutu berdasarkan pada konsep bahwa setiap orang mempunyai pelanggan dan bahwa kebutuhan dan harapan pelanggan harus dipenuhi setiap saat.
2. Perbaikan proses: Konsep perbaikan terus menerus dibentuk berdasarkan pada urutan dan langkah-langkah kegiatan yang berkaitan dengan menghasilkan output seperti produk berupa barang dan jasa. Perhatian secara terus menerus bagi setiap langkah dalam proses kerja sangat penting untuk mengurangi keragaman dari output dan memperbaiki keadaan. Tujuan pertama perbaikan secara terus menerus ialah proses yang handal, dalam arti bahwa dapat diproduksi yang diinginkan setiap saat tanpa variasi yang diminimumkan. Apabila keragaman telah dibuat minimum dan hasilnya belum dapat diterima maka tujuan kedua dari perbaikan proses ialah merancang kembali proses tersebut untuk memproduksi output yang lebih dapat memenuhi kebutuhan pelanggan, agar pelanggan puas.
3. Keterlibatan total: Pendekatan ini dimulai dengan kepemimpinan manajemen senior yang aktif dan mencakup usaha yang memanfaatkan bakat semua karyawan dalam suatu organisasi untuk mencapai suatu keunggulan kompetitif (competitive advantage) di pasar yang dimasuki. Karyawan pada semua tingkatan diberi wewenang/kuasa untuk memperbaiki output melalui kerjasama dalam struktur kerja baru yang luwes (fleksibel) untuk memecahkan persoalan, memperbaiki proses dan memuaskan pelanggan. Pemasok juga dilibatkan dan dari waktu ke waktu menjadi mitra melalui kerjasama dengan para karyawan yang telah diberi wewenang/kuasa yang dapat menguntungkan organisasi/perusahaan. Pada waktu yang sama keterlibatan pimpinan bekerjasama dengan karyawan yang telah diberi kuasa tersebut.
Jadi prinsip dasar dalam TQM adalah bahwa pelanggan dan kepentingannya harus diutamakan. (Sallis, 2010 : 23).
Salah satu tujuan TQM adalah untuk merubah institusi yang mengoperasikannya menjadi sebuah tim yang ikhlas, tanpa konflik dan kompetisi internal, untuk meraih sebuah tujuan tunggal, yaitu memuaskan pelanggan. (Sallis, 2010 : 69). Dan tujuan mutu terpadu adalah memahami kebutuhan mereka (pelanggan) yang selalu berkembang, serta menggunakan pengetahuan tersebut untuk diterjemahkan ke dalam produk-produk dan pendekatan bisnis baru/penyelengaraan institusi pendidikan yang inovatif. (Sallis, 2010 : 56).
PENUTUP
TQM atau MMT dalam dunia pendidikan sangatlah penting dan menunjang sekali untuk mengukur kuantitas dan kualitas sistem dan proses pendidikan beserta output dari produksi/peserta didik dalam lulusannya di masa yang akan datang. Oleh karena itu dewasa ini terdapat tujuh negara yang memberikan penghargaan (award) kepada perusahaan-perusahaan yang telah berhasil melaksanakan TQM, yaitu Amerika Serikat (Balridge Award), Jepang (Deming Prize), negara-negara Eropa (European Quality Award), Korea Selatan (Korean Quality Management Award), Brazil (Brazilian Quality Award), Kolombia, (Columbian National Quality Award), dan India (Rajib Gandhi National Quality Award).
DAFTAR REFERENSI
Sallis, Edward. Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan, Ircisod, 2010. Jogjakarta.
http://ravik.staff.uns.ac.id/2009/10/22/penerapan-manajemen-mutu-terpadu-dalam-pendidikan-dapat-mendukung-terwujudnya-good-governance
DISKUSI Pasca Sarjana
FITRAH MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENDIDIKAN
PERSPEKTIF AL QUR’AN DAN AL-HADITS
( Oleh Moh. Nur Afandi )
A. PENDAHULUAN
Kajian tentang manusia telah banyak dilakukan para ahli yang selanjutnya dikaitkan dengan berbagai kegiatan, seperti politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan, agama dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukan karena manusia selain sebagai subjek (pelaku), juga sebagai objek (sasaran) dari berbagai kegiatan tersebut. Termasuk dalam kajian Ilmu Pendidikan Islam. Pemahaman terhadap manusia menjadi penting agar proses pendidikan tersebut dapat beerjalan dengan efektif dan efisien.
Pengetahuan tentang asal kejadian manusia adalah amat penting dalam merumuskan tujuan pendidikan bagi manusia. Asal kejadian ini justru harus dijadikan pangkal tolak dalam menetapkan pandangan hidup bagi orang Islam. Pandangan tentang kemakhlukan manusia cukup menggambarkan hakikat manusia. Manusia adalah makhluk (ciptaan) Allah adalah salah satu hakikat wujud manusia.
Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an mengungkapkan pendapat Alexis Carrel tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia bahwa “Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan dan para ahli bidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia -kepada diri mereka- hingga kini masih tetap tanpa jawaban.”
Satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada wahyu Illahi (Al-Qur’an) dan Al-Hadits (Rosulullah SAW), agar kita dapat menemukan jawabannya. Bagaimanakah perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits tentang hakikat dan fitrah manusia sebagai makhluk pendidikan?
Makalah ini berusaha mengungkapkan Hakikat dan Fitrah manusia sebagai makhluk pndidikan dalam perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits.
B. PEMBAHASAN
1. Hakikat Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an
Apa Hakikat manusia dalam perspektif Al-Qur’an? Di dalam Al-Qur’an, manusia merupakan salah satu subjek yang dibicarakan, terutama yang menyangkut asal-usul dengan konsep penciptaannya, kedudukan manusia dan tujuan hidupnya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena Al-Qur’an memang diyakini oleh kaum muslimin sebagai firman Allah SWT yang ditujukan kepada dan untuk manusia.
Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia, yaitu: 1). Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin semacam Insan, Ins, Nas atau Unas. 2). Menggunakan kata Basyar. 3). Menggunakan kata Bani Adam dan Dzuriyat Adam.
Sementara Ramayulis dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam mengatakan bahwa istilah manusia dalam Al-Qur’an dikenal tiga kata, yakni kata al-Insân, al-Basyâr dan al-Nâs.
Walaupun ketiga kata di atas menunjukkan arti pada manusia, tetapi secara khusus memiliki pengertian yang berbeda:
1) Al-Insân
Al-Insân terbentuk dari kata نسي – ينسَ yang berarti lupa. Kata al-insân dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 surat. Penggunaan kata al-insân pada umumnya digunakan pada keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan makhluk psikis disamping makhluk pisik yang memiliki potensi dasar, yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang mulia dan tertinggi dibandingkan makhluk-Nya yang lain.
Nilai psikis manusia sebagai al-Insân yang dipandu wahyu Ilahiyah akan membantu manusia dalam membentuk dirinya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang terwujud dalam perpaduan iman dan amalnya. Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya:
“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
(QS. At-Thiin: 6)
Dengan pengembangan nilai-nilai tersebut, akhirnya manusia mampu mengemban amanah Allah SWT di muka bumi.
Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an mengatakan bahwa kata Insan diambil dari akar kata Uns yang berarti Jinak, Harmonis dan Tampak. Menurutnya pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia diambil dari kata Nasiya (lupa), atau Nasa-Yanusu yang berarti (berguncang). Kata insan, digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.
Kata al-insân juga menunjukkan pada proses kejadian manusia, baik proses penciptaan Adam maupun proses manusia pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan berproses.
Firman Allah:
Artinya:
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah”. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya”. (QS. Shaad: 71-72)
•
Artinya:
dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (QS. Al-Mukminûn: 12-13)
2) Al-Basyar
Al-Basyar diambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata Basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.
Kata Al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali yang tersebut dalam 26 surat.
Kata-kata tersebut diungkap dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dua) untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.
Pemaknaan manusia dengan Al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum, perlu hiburan, seks dan lain sebagainya. Karena kata Al-Basyar ditunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, ini berarti nabi dan rasul pun memiliki dimensi Al-Basyar seperti yang diungkapkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 110:
Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku… (QS. Al-Kahfi 110)
Dengan demikian penggunaan kata al-basyar pada manusia menunjukkan persamaan dengan makhluk Allah SWT lainnya pada aspek material atau dimensi jasmaniahnya.
3) Al-Nâs
Kata al-nâs menunjukkan pada hakikat manusia sebagai makhluk social dan ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakah beriman atau kafir. Penggunaan kata al-Nâs lebih bersifat umum dalam mendefinisikan hakikat manusia dibanding dengan kata al-insân.
Kata al-Nâs juga dipakai dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa karakteristik manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT dengan berbagai potensi yang bisa digunakan manusia untuk mengenal Tuhannya, namun hanya sebagian manusia saja yang mau mempergunakannya, sementara sebagian yang lain tidak, justru mempergunakan potensi tersebut untuk menentang ke-Mahakuasa-an Tuhan. Dari sini terlihat bahwa manusia mempunya dimensi ganda, yaitu sebagai makhluk yang mulia dan yang tercela.
Dari uraian di atas, bahwa pendefinisian manusia yang diungkap dalam Al-Qur’an dengan istilah Al-Insân, Al-Basyar dan al-Nâs menggambarkan tentang keunikan dan kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik/jasmani), dan immaterial (psikis/ruhani) yang dipandu oleh ruh Ilahiah. Kedua aspek tersebut saling berhubungan.
Dengan kelengkapan dua aspek material dan immaterial di atas, manusia dapat melaksanakan tugas-tugasnya. Disini manusia memerlukan bimbingan, binaan dan pendidikan yang seimbang, harmonis dan integral, agar kedua aspek tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif.
2. Proses Penciptaan Manusia
Manusia adalah makhluk Allah. Ia bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi dijadikan oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur‟an Surat Ar-Rum ayat 40, yang berbunyi:
•
Artinya:
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali)”
(QS. Ar-Rum : 40)
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang unsur penciptaannya terdapat ruh Illahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali sedikit.
Artinya:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. Al-Israa : 85)
Proses penciptaan manusia seperti yang dimuat pada Al-Qur’an Surat Ash-Shaad ayat 71-72 dan Al-Mukminûn ayat 12-13 di atas, penggunaan kata al-Insân mengandung dua dimensi, Pertama; dimensi tubuh/materiil (dengan berbagai unsurnya). Kedua; dimensi spiritual (ditiupkan-Nya ruh-Nya kepada manusia).
Quraish Syihab dalam Wawasan Al-Qur’an menjelaskan bahwa Al-Qur’an ketika berbicara tentang penciptaan manusia pertama, menunjuk kepada sang Pencipta dengan menggunakan pengganti nama berbentuk tunggal :
Artinya:
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah”.
(QS. Shâd: 71)
Artinya:
Allah berfirman: “Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. (QS. Shâd: 75)
Tetapi ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum, Yang Maha Pencipta ditunjuk dengan menggunakan bentuk jamak.
•
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.(QS. Al-Hijr: 28-29)
Seperti telah disebutkan di atas bahwa Al-Qur’an juga menggunakan kata ath-Thin untuk unsur materiil asal manusia. Salah satunya menggunakan kata Sulâlatin Min Thîn, dalam konteks kejadian manusia pada umumnya. Di bagian lain diungkap menggunakan kata thînin lâzib seperti yang termuat dalam Al-Qur’an Surat Ash-Shâffât ayat 11:
•
Artinya:
Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): “Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?” Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat. (QS. Ash-Shâffât : 11)
Selain menggunakan kedua kata di atas (sulâlatin min thîn dan thînin lâzib), dalam Al-Qur’an juga terdapat kata shalshâl yang dirangkai dengan ungkapan min hama‟in masnûn seperti yang disebut dalam Surat Al-Hijr ayat 26:
•
Artinya:
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Artinya:
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar
(QS. Ar-Rahmân ; 14)
Dari uraian di atas, kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan unsur materiil asal-usul manusia adalah:
- Sulâlah artinya bagian yang ditarik dari sesuatu dengan pelan dan tersembunyi. Bagian yang ditarik tersebut menurut Ath-thabarsyi disebut sebagai sari sesuatu yang dikeluarkan darinya (shafwatusy-syay‟I al-latî yakhruju minhâ).
- Shalshâl yang berarti tanah lempung, berasal dari kata shalshalah yang artinya berbunyi, tanah lempung disebut dengan shalshalah karena ia mengeluarkan bunyi bila sudah kering seperti tembikar (al-fakhkhâr) yang mengeluarkan bunyi seperti suara besi bila berantukan.
- Lâzib, para mufassir sering mengartikan thînun lâzib dengan thînun lâshiq yang maksudnya tanah yang lengket.
- Hama‟un masnûn, kata hama‟ adalah kata lain yang menunjuk pada jenis tanah asal manusia. Kata hama‟un pada dasarnya berarti tanah hitam yang berbau busuk. Arti tersebut tidak jauh berbeda dengan arti yang dikemukakan ath-Thabary sebagai tanah yang berubah menjadi hitam.
Kata Turâb disebutkan sebagai unsur materiil asal manusia yang berarti juga „tanah‟ atau „debu‟. Semua kata tersebut menjelaskan unsur materiil dari ciptaan manusia yang terdiri dari bermacam-macam jenis tanah yang boleh jadi melambangkan komponen-komponen kimiawi pembentuk fisik manusia, dan inti tanah yang berupa tanah lempung dan berbau, menggambarkan suatu unsur materiil yang amat sederhana dan rendah. Unsur inilah yang digabungkan dengan unsur yang amat sempurna dan mulia yakni ruh Tuhan.
Ruh Tuhan yang ditiupkan ke dalam unsur materi manusia itu merupakan ruh kehidupan yang suci. Ungkapan yang digunakan Al-Qur’an adalah rûhiy (ruh-Ku) dan rûhih (ruh-Nya).
Artinya:
Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (QS. Al-Hijr : 29)
•
Artinya:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur .(QS. As-Sajdah: 9)
Perpaduan antara dua unsur di atas (unsur materiil dan unsur ruh) menunjukkan suatu perpaduan unsur yang bersih dan baik, namun mempunyai karakter yang berlawanan, yaitu unsur yang rendah dan hina dengan unsur yang suci dan mulia.
Disamping dua unsur di atas, akal adalah salah satu aspek penting dalam hakikat manusia. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang akal. Akal adalah alat untuk berpikir. Jadi salah satu hakikat manusia ialah ia ingin, ia mampu dan ia berpikir.
Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam mengatakan bahwa menurut Harun Nasution ada tujuh kata yang digunakan Al-Qur’an untuk mewakili konsep akal; yaitu
Pertama, kata Nazara
•
Artinya:
Maka Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun ? (QS. Qaaf: 6)
Kedua, kata Tadabbara
Artinya:
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. Al-Nahl : 29)
Keempat, kata Faqiha. Kelima, kata Tadzakkara. Keenam, kata fahima. dan Ketujuh, kata Aqala. Kata aqala dalam Al-Qur’an kebanyakan digunakan dalam bentuk fi‟il (kata kerja), hanya sedikit dalam bentuk ism (kata benda). Ini menunjukkan bahwa pada akal yang penting ialah berpikir bukan akal sebagai otak yang berupa benda.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia adalah terdiri atas unsur jasmani, ruhani dan akal.
3. Nilai Pendidikan Dalam Proses Kejadian Manusia
Manusia insan secara kodrati, sebagai ciptaan Allah SWT yang sempurna bentuknya dibandingkan dengan ciptaan Allah lainnya. Manusia juga sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya.
Kemampuan lebih yang dimiliki manusia itu adalah kemampuan akalnya. Untuk itulah manusia sering disebut sebagai Animal Rational atau Hayawan al-Nâtiq, yaitu binatang yang dapat berpikir. Melalui akalnya manusia berusaha memahami realitas hidupnya, memahami dirinya serta segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Yang banyak dibicarakan oleh Al Qur‟an tentang manusia adalah sifat-sifatnya dan potensinya. Potensi manusia dijelaskan oleh Al-Qur’an antara lain melalui kisah Adam dan Hawa dalam Surat Al-Baqarah ayat 30-39. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan ruh Ilahi (akal dan ruhani), manusia dianugrahi pula:
(1) Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam
Dengan potensi ini manusia adalah makhluk yang berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan dan mengemukakan gagasan atau ide serta melaksanakannya. Potensi ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang tadinya merasa wajar untuk dijadikan khalifah di muka bumi, dan karenanya malaikat bersedia sujud (penghormatan) kepada Adam.
(2) Pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akabat buruknya. Pengalaman di surga adalah arah yang harus dituju dalam membangun dunia ini, kecukupan sandang, pangan dan papan serta rasa aman terpenuhi, sekaligus arah terakhir bagi kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan godaan iblis, dengan akibat yang sangat fatal itu, adalah pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan iblis di dunia.
(3) Petunjuk-petunjuk keagamaan. Secara tegas Al-Qur’an mengemukakan bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah dan ruh Ilahi melalui proses yang tidak dijelaskan rinciannya, sedangkan reproduksi manusia walaupun dikemukakan tahapan-tahapannya, namun tahapan tersebut lebih banyak berkaitan dengan unsur tanahnya.
Isyarat yang menyangkut unsur immaterial ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia dan dari uraian tentang fitrah, nafs, qalb dan ruh yang menghiasi manusia.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia memiliki fitrah. Fitrah di sini adalah potensi. Manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan; kemampuan itulah yang disebut pembawaan. Sabda Rosulullah SAW:
Artinya:
“Tiap-tiap orang dilahirkan membawa fitrah; ayah dan ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR Bukhori dan Muslim).
Fitrah yang disebut dalam hadits di atas adalah potensi. Potensi adalah kemampuan; jadi fitrah yang dimaksud disini adalah pembawaan. Ayah dan ibu dalam hadits ini adalah lingkungan sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan. Kedua-duanya (pembawaan dan lingkungan) itulah, menurut hadits tersebut yang menentukan perkembangan seseorang.
Pengaruh itu terjadi baik pada aspek jasmani, akal maupun aspek rohani. Aspek jasmani banyak dipengaruhi oleh alam fisik (selain oleh pembawaan), aspek akal banyak dipengaruhi oleh lingkungan budaya (selain oleh pembawaan), dan aspek rohani dipengaruhi oleh kedua lingkungan itu (selain oleh pembawaan). Pengaruh-pengaruh itu berbeda tingkat dan kadar pengaruhnya antara seseorang dengan orang lain.
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud fitrah itu? Dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari akar kata al-Fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain antara lain “penciptaan” atau “kejadian”. Jadi fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir. Di dalam Al-Qur’an diungkapkan: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Merujuk kepada fitrah yang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiaannya membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Muncul pertanyaan, apakah fitrah manusia hanya terbatas pada keagamaan? Jelas tidak. Masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptaan potensi manusia, walaupun tidak menggunakan kata fitrah, seperti:
Artinya:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
(QS. Ali „Imrân: 14)
Manusia berjalan dengan kakinya adalah contoh fitrah jasadiyah, sementara menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fitrah aqliyah. Senang menerima nikmat, dan sedih bila ditimpa musibah adalah juga fitrah. Jadi fitrah adalah:
الفطزة ى النظام الذ ا جًذه الله ف كل هخل قٌ اًلفطزة الت تخص ن عٌ الانساى
ى ها خلقو الله عليو جسذا عًقلا
Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani, akal dan ruhnya.
Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa Fitrah (potensi) yang dijelaskan oleh Al-Qur’an antara lain;
1) Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia itu membawa sifat ingin bermasyarakat. (QS. Al-Hujurât 13)
2) Manusia sebagai makhluk yang ingin beragama (QS Al-Mâidah 3; Al-A‟râf 172), karena itu pendidikan agama dan lingkungan beragama perlu disediakan bagi manusia.
3) Manusia itu mencintai wanita dan anak-anak, harta benda yang banyak, emas dan perak, kuda-kuda pilihan (kendaraan sekarang), ternak dan sawah lading (QS. Ali „Imrân: 14)
4. Kedudukan Manusia
Kesatuan wujud manusia antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwim. Dalam hubungannya dengan Pendidikan Islam, menempatkan manusia pada posisi yang strategis, yaitu: a). Manusia sebagai makhluk yang mulia b). Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi c). Manusia sebagai makhluk paedagogik
a. Manusia sebagai makhluk yang mulia
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Manusia adalah hamba Allah (abd Allah). Esensi dari ketaatan seorang hamba adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan terhadap Tuhannya. Sebagai hamba Allah manusia tidak bisa lepas dari kekuasaan-Nya karena fitrah untuk beragama.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Al-Ruum 30)
Berdasarkan ayat di atas, menjelaskan bahwa bagaiamana pun primitifnya suku bangsa manusia, mereka akan mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya. Dengan demikian, rasa tunduk dan kepatuhan manusia kepada Zat Yang Maha Agung, merupakan tabiat asli (fitrah) manusia yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai nilai ubudiyah kepada-Nya. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzâriyât 56)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada Allah SWT.
b. Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi
Fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi ini, dijelaskan oleh Al-Qur’an berikut;
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah 30)
Artinya:
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat” (QS Al-An‟am 165)
Ayat-ayat di atas disamping menjelaskan kedudukan manusia di alam raya ini sebagai khalifah, juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etika yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya.
Untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia seperangkat potensi (fitrah) berupa aql, qalb dan nafs. Namun demikian, aktualisasi fitrah itu tidaklah otomatis berkembang melainkan tergantung pada manusia itu sendiri. Untuk itu, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi dan Rosul, agar menjadi pedoman bagi manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh, selaras dengan tujuan penciptaanya, sehingga manusia dapat tampil sebagai makhluk Allah yang tinggi martabatnya.
Ahmad Hasan Firhat dalam bukunya Jalaluddin membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk: Pertama, khalifah kauniyah. Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang telah dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan umat manusia di muka bumi. Dalam konteks ini, wewenang manusia meliputi pemaknaan yang bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya label kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia sebagai penguasa alam semesta.
Jika dimensi ini yang dijadikan standar dalam melihat predikat manusia sebaga khalifah Allah fi al-ardh, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dan alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan mempergunakan alam semesta sebagai konsekuensi kekhalifahannya tanpa control dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiah. Akibatnya keberadaannya di muka bumi, bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat kerusakan dan merugikan makhluk Allah lainnya.
Kedua, khalifah Syar’iyat; Dimensi ini wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan agar dengan keimanan yang dimilikinya, mampu menjadi pilar dan control dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta ini demi kemaslahatan umat manusia.
c. Manusia sebagai makhluk paedagogik
Makhluk paedagogik ialah makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik. Manusia adalah makhluk paedagogik, karena memiliki potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi. Manusia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah itu. “(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.” (QS. Al-Rum 30)
Manusia adalah makhluk yang dapat berpikir, merasa dan bertindak dan terus berkembang. Fitrah inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dari sinilah semakin jelas bahwa manusia adalah makhluk paedagogik.
Meskipun demikian, jika potensi itu tidak dikembangkan, niscaya ia akan kurang bermakna dalam kehidupan. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan pengembangan itu senantiasa dilakukan dalam usaha dan kegiatan pendidikan.
Teori nativis dan empiris yang dipertemukan oleh Kerschenteiner dengan teori konvergensinya, telah ikut membuktikan bahwa manusia itu adalah makhluk yang dapat dididik dan mendidik (Animal Educandum dan Animal Educable).
C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam perspektif Al-Qur’an, manusia merupakan salah satu subjek yang dibicarakan, terutama yang menyangkut asal-usul dengan konsep penciptaannya, kedudukan manusia dan tujuan hidupnya. Istilah manusia dalam Al-Qur’an dikenal tiga kata, yakni kata al-insân, al-basyâr dan al-nâs.
2. Pendefinisian manusia yang diungkap dalam Al-Qur’an dengan istilah Al-Insân, Al-Basyar dan al-nâs menggambarkan tentang keunikan dan kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik/jasmani), immaterial (psikis/ruhani) yang dipandu oleh Ruh Ilahiah dan akal. Aspek-aspek tersebut saling berhubungan.
3. Kesatuan wujud manusia antara fisik, psikis dan akal serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwim. Dalam hubungannya dengan Pendidikan Islam, menempatkan manusia pada posisi yang strategis, yaitu: a). Manusia sebagai makhluk yang mulia b). Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi c). Manusia sebagai makhluk paedagogik
4. Manusia adalah makhluk paedagogik, karena memiliki potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi. Manusia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah itu.
5. Kajian terhadap konsep manusia sebagai makhluk belajar (paedagogik) penting dilakukan, karena berbagai rumusan tentang pendidikan dengan berbagai komponennya baru akan dapat dicapai apabila berdasarkan pada konsep manusia yang benar.
6. Islam dengan sumber utamanya Al-Qur’an dan Al-Hadits, ternyata mengandung petunjuk yang jelas tentang konsep manusia yang dapat diterapkan dalam merancang konsep pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Remaja RosdaKarya. Cet.V 2010.
Drajat, Zakiah. Ilnu Pendidikan Islam. Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Depag. 2005
Hitami, Munzir. Revolusi Sejarah Manusia. Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara. 2009.
Ibn Jarîr ath-Thabary, Muhammad, Jami’al-Bayân ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’ân, XII (Kairo: Mushthâfâ al-Bâbiy al-Halabiy, 1954.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan. Jakarta, Grafindo Persada, 2003.
Muhaimin, Pradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan di Sekolah Bandung: Rosda karya, 2004.
Majid, Nurcholis. Islam Kemodern dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1991.
Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta : Prenada Media Group. 2009.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia. cet. VIII. 2010.
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat. Bandung : Mizan, Cet. VII, 1998.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya,cet. VII 2007.
Ihsan, Hamdani dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
MENGGUGAT HADIS
PENUGASAN TERSTRUKTUR
Mata Kuliah : Studi Hadis.
Dosen pembina : Dr. Kasman; M.Fil.I.
Sub Tema : Kritik Orietalis Terhadap Hadis.
Disusun Oleh : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.
Email : idris_mahmudi@yahoo.co.id
PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
TAHUN 2011 / 2012
ORIENTALIS MENGGUGAT HADIS
A. Prolog
Islam adalah agama yang dasarnya sangat mapan (establish) dan kokoh. Menurut Abdul Wahab Kholaf, pilar hukum Islam terdiri dari : 1. Al-Qur’an, 2. Al-Hadis, 3. Ijma’, 4. Qiyas, 5. Istihsan, 6. Masholihul Mursalah, 7. Urf, 8. Istishab, 9. Syar’u Man Qoblana, 10. Madzhab Shohabi. Kesepuluh pilar dasar hukum diatas pada akhirnya terbagi 2 besar, yaitu : Mutafaqun fiihi (4 dasar yang pertama) dan Mukhtalafun Fiihi (6 dasar yang terahir). Dari 4 dasar yang pertama dimana mayoritas mutafaqun fiihi (sepakat atas keterpakaiannya), master of law-nya adalah 2 yang pertama Al-Qur’an dan Hadis sehingga muncul slogan Ar-ruju’u ilal Qur’an was-Sunnah, (setidaknya di Indonesia slogan ini dipopulerkan oleh organisasi Muhammadiyah). Karena kedua dasar itu sama-sama wahyu yang otentik dan kebenarannya Absolut. Namun akhir-akhir ini (sejak awal/pertengahan abad 19), 2 pilar yang kokoh itu digoyang oleh gerakan Orientalisme terutama terhadap sendi hukum kedua, Hadis. Karena mereka menganggap Ia keluar dari sosok Muhammad yang kontroversial dari berbagai aspek yang berbeda dengan Al-Qur’an. Benarkah anggapan mereka ? Melalui makalah ini penulis bermaksud mengupasnya.
B. Pembahasan
Pengertian Orientalis
Kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan dalam kamus ilmiah populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari Timur. Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain. Menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.
Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kata “isme” (Belanda) ataupun “ism” (Inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu paham. Jadi Orientalisme bermakna sesuatu paham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya.
Lawan kata “orient” di dalam bahasa Perancis ialah occident, yang secara harfiah bermakna “barat”, secara geografis bermakna dunia belahan barat dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa di barat. Sedangkan kata Occidental bermakna hal-hal yang berkaitan dengan dunia barat, yaitu bangsa-bangsa yang di situ beserta lingkungannya.
Berbeda dengan Orientalisme, maka kata Occidentalisme hampir tidak pernah disebut, karena bukan merupakan suatu keahlian khusus dalam lingkungan disiplin-disiplin ilmu.
Kelompok-kelompok orientalisme secara garis besar dibagi dalam dua bagian. Pertama, kelompok moderat dan mampu bersikap adil, dalam prinsip keilmuan penuh kejujuran (kelompok Islamisist) hingga sebagiannya mendapatkan hidayah Islam misalkan salah satunya Martin Van Bruinessen dari Belanda. Kelompok ini diwakili Reenan, Jenny Pierre, Carl Leil, Tolstoy, Lord Headly, Ethan Deneeh dan Dr. Greeneh. Kedua, kelompok ekstrim dan fanatik yang dikenal menyelewengkan kebenaran dan melakukan penyimpangan dalam memahami ajaran Islam serta tidak menggunakan metode ilmiah dalam penelitiannya (kelompok Orientalis / Misionaris / Kolonialis). Kelompok ini diwakili oleh A.J Arberry, Alfred Geom, Baron Carrad Vauk, H.A.R Gibb, Goldziher, S.M Zweimer, G. Von Grunbaum, Phillip K Hitti, A.J Wensink, L. Massignon, D.B Macdonald, D.S Margaliouth, R.L Nicholson, Henry Lammens, Josseph Schacht, Harfly Haol, Majid Kadury dan Aziz Atiah Surial.
Persepsi Orientalis Terhadap Hadist
Pembukuan hadist secara resmi baru dilakukan pada masa Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah Bani Umayyah ke-8), jauh setelah Nabi SAW wafat. Panjangnya rentang waktu ini, bagi orientalis merupakan peluang terlebar untuk mengkritik hadist. Perhatian orientalis terhadap peradaban timur terutama Islam amat besar. Perhatian itu tidak hanya berkaitan dengan kepentingan ilmu tetapi juga mempelajari kekuatan timur ketika mereka (barat) kalah dalam perang salib. Perhatian ilmiah mereka pertama pada Al-Qur’ān kemudian pada sumber Islam yang kedua; al-Hadist. Kesimpulan mereka umumnya menyatakan bahwa keabsahan al-Hadist diragukan sebagai sabda Rasul karena panjangnya rentang waktu pengkodifikasiannya.
Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadist, yaitu tentang perawi hadist, kepribadian Nabi Muhammad Saw, dan metode pengklasifikasian hadis. Secara umum di antara tuduhan-tuduhan orientalis yang meragukan otentisistas hadits adalah :
1. Hadits tidak ditulis pada masa Nabi SAW.
2. Sahabat Umar bin Khattab menarik pendapatnya soal kodifikasi hadits.
3. Para Shahabat tidak menghafal hadits.
4. Sulit membedakan hadits shahih dengan yang palsu, Karena terjadi begitu banyak pemalsuan hadits.
5. Hanya hadits mutawatir yang boleh dijadikan sumber hukum.
6. Meragukan kredibilitas para perawi dan ulama hadits.
7. Banyak hadits yang bertentangan dengan HAM.
Ditambah dengan upaya mereka meyakinkan umat Islam bahwa beragama cukup dengan berpedoman kepada al-Qur’an saja.
Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Klaim ini diamini oleh rekan satu misinya William Muir, orientalis asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad SAW dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam literatur hadits, nama Nabi Muhammad SAW sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan (the name of Mahomet was abused to support all possible lies and absurdities). Oleh sebab itu, katanya lebih lanjut, dari 4000 hadits yang dianggap shahih oleh Imam Bukhārī, paling tidak separuhnya harus ditolak. Tulisan Muir ini kemudian dijawab oleh Sayyid Ahmad Khan dalam esei-eseinya. Orientalis lain Montgomerywatt, menyatakan “Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya, pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil”.
Pandangan tokoh orientalis dalam mengkrikitk hadist
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M. Berbeda dengan A.J. Wensick dalam The Importance of Tradition for Studies of Islam, menegaskan bahwa yang pertama kali mengkaji otentisitas hadits adalah Snouck Hurgronjee. Ignaz Goldziher adalah satu-satunya orientalis yang sempat belajar secara resmi di Universitas al-Azhar, Mesir. Ia bukan saja aktif menghadiri ‘tallaqi’ dengan beberapa masyayikh di Al-Azhar, bahkan ia pernah ikut shalat Jumat di sebuah mesjid di Mesir. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel asli dalam bahasa Ibrani. Pendidikan S1-nya bermula pada usia 15 tahun di Universitas Budapest, Hungaria. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913),seorang pakar tentang Turki. Setelah menyelesaikan studinya di Budapest, Goldziher melanjutkan studinya di Universitas Leipzig, Jerman. Ia meraih gelar doktor dari universitas tersebut ketika berusia 19 tahun. Gelar itu diperolehnya setelah dibimbing selama dua tahun oleh Heinrich Fleisher, orientalis Jerman terkemuka.
Pada tahun 1890, Ignaz Goldziher mempublikasikan hasil penelitiannya tentang hadis dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi “kitab suci” di kalangan orientalis. Dibanding dengan Goldziher, hasil penelitian Schacht memiliki “keunggulan”, karena ia bisa sampai pada kesimpulan yang menyakinkan bahwa tidak ada satupun hadis yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas hadis. tidak aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh reputasi dan sambutan yang luar biasa. Hadits yang dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi Sahabat Rasul. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan : ”Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”.” Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang asli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hadis yang berasal dari Nabi SAW. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum terhimpun dalam satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.
Hadist menurutnya, tidak lebih kecuali hanya sebagai produk perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa sahabat dan tabi’in. Dengan kata lain, para sahabat dan tabi’in adalah dua generasi pembuat hadist yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi. Celakanya, hadist-hadist palsu itu dipakai pula oleh para penganut mazhab untuk membela dan melegitimasi pendapatnya masing-masing. Pendapat Goldziher ini tertuang dalam bukunya Dirasah Islamiyah, yang kemudian dijadikan “kitab suci” oleh para orientalis berikutnya, dimana para orientalis berkiblat padanya. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad SAW. Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi SAW. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha”.
Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam. Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi SAW, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh umat Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selama ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.
Pengaruh pemikiran Ignaz bukan saja di kalangan orientalis saja melainkan juga di kalangan pemikir muslim. Ahmad Amin misalnya, dalam bukunya “Fajrul Islam” juga terkecoh dan meragukan beberapa hadis akibat teorinya Ignaz tersebut. Begitu pula dengan Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya “Adhwa ‘Ala as Sunnah al Muhammadiyah” juga banyak mengikuti metode-metode kritik hadis versi Goldziher. Demikian juga Dr. Thoha Husein, Syaikh Muhammad al Ghazaliy, Fazlurrahman dan lain-lain meski dalam batas dan kualitas yang berbeda-beda. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921. Ignaz Goldziher melalui analisa dan pemikirannya telah melahirkan faham sesat dalam Islam yaitu Inkar Sunnah (inkar hadits), dan sekarang kaki tangan Goldziher sudah tersebar dimana-mana di dunia ini terutama sekali sarjana-sarjana Islam yang mengecap pendidikan di perguruan tinggi yang dikelola oleh jaringan zionis internasional. Di Mesir ada Ali Hasan Abdul Qadir, Dr. Thoha Husein, Dr. Ahmad Amin dan Abu Rayyah, di Amerika faham ini disebarkan oleh Dr. Rasyad Khalifah dan di Indonesia oleh Dr. Snouck Hourgrounje dan kaki tangannya seperti Habib Abdurrhman Az-Zahir, Sayid Osman bin Yahya dan Tengku Nurdin.
Disamping Goldziher, Orientalis yang berpengaruh lain adalah Joseph Schacht. Ia adalah orientalis Jerman yang lahir pada 15 Maret 1902 di Rottbur, Jerman. Pada tahun 1959 ia pindah ke New York, dan menjadi Guru Besar di Universitas Coloumbia hingga meninggal pada awal Agustus 1969. Walaupun Ia merupakan orientalis spesialis dalam bidang Fiqh, namun menurut penulis bidang ini tidak akan bisa lepas dari Hadist. Karena lebih dari setengah permasalahan yang ada dalam fiqh terdapat dalam Sunnah/Hadist Nabi. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford,1950). Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii. Pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu. Dia berkata, ”we shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic” (Kita tidak akan menemukan¬ satu buah pun hadits yang berasal dari Nabi¬ yang dapat dipertimbangkan kesahihannya). Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi SAW. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam enam poin :
1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal akhir abad pertama.
2. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’i untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5. Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini :
1. Teori Projecting Back
Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al Sya’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al Sya’bi. Hukum islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim.
2. Teori E Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya, jika satu hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya tidak menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis, tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
3. Teori Common Link
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya. Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.
Bantahan Terhadap Orientalis
1. Meruntuhkan Argumen Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal pertumbuhan Islam disanggah oleh beberapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh. Profesor Muhammad Hamidullah (Hyderabad - Paris), Fuat Sezgin (Frankfurt), Nabia Abbot (Chicago), dan Muhammad Mustafa Al-Azami (Cambridge - Riyadh), dalam karyanya masing-masing telah berhasil mengemukakan bahwa terdapat bukti-bukti konkrit yang menunjukkan pencatatan dan penulisan hadits sudah dimulai semenjak kurun pertama Hijriah sejak Nabi SAW masih hidup.
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan. Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah Abdul Malik bin Marwan (yang bermusuhan dengan Ibnu Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya Ibnu Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang Abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah. Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.
2. Meruntuhkan Argumen Josep Schacht
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat/asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadikan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis. Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail, jauh lebih ke belakang lagi dari pada Schacht yang ternyata dari hasil kajiannya menyatakan sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.
Temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf. Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidak konsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) saja yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada Rasulullah SAW. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul SAW sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
Menurut Profesor Muhammad Musthafā al-A‛zamī, kekeliruan dan kesesatan Schacht dalam karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford, 1950) itu disebabkan oleh lima perkara :
1. Sikapnya yang tidak konsisten dalam berteori dan menggunakan sumber rujukan.
2. Bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan metodologi yang tidak ilmiah.
3. Salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta.
4. Ketidaktahuannya akan kondisi politik dan geografis yang dikaji.
5. Salah faham mengenai istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama Islam.
Karena dipandu oleh niat buruk ini, maka kajiannya pun diwarnai oleh sikap pura-pura tidak tahu (wilful ignorance) dengan sengaja mengabaikan data yang tidak mendukung asumsi-asumsinya dan memanipulasi bukti-bukti yang ada demi membenarkan teori-teorinya (abuse of evidence). Hasilnya, kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya tidak cukup valid, karena “main pukul rata” secara gegabah (hasty generalizations) dan menduga-duga (conjectures) belaka.
Epilog
Sungguh nampak kebencian barat pada timur (Islam) sehingga metodologi ilmiah yang mereka bangun di dekonstruksi (dirusak) sendiri oleh sentimentil perbedaan ideologi dan agama. Walau demikian tergambar jelas bahwa sentimen orientalis dibantah oleh para ulama, cendekiawan muslim dengan argumen yang luas dan jelas. Dengan demikian islam semakin nampak kebenarannya karena pilar hukumnya terbukti teruji dari gerakan orientalisme.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna’. Pengantar studi Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pustaka Al-Kausar, 2009. Jakarta Timur.
Al-Khotib, Ajaj. Assunnatu Qobla Tadwin,
Azizi, Qodri A. Hukum Nasional Ekletisme Hukum Islam dan Hukum barat, Teraju, 2004. Jakarta Selatan.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Internasional dari Timur Tengah hingga Australia,
Metodologi Studi Islam
Mudzhar, Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Pustaka Pelajar, 2004. Yogyakarta.
http://insists.multiply.com/journal/item/39/Orientalisme_dan_Al_Quran_Kritik_Wacana_Keislaman_Mutakhir. Diakses pada Selasa, 4-10-2011 jam 09.00.
http://www.mesjidui.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=80:attafakkur&catid=41:kajian-islam&Itemid=69, Diakses pada Selasa, 4-10-2011 jam 09.00
http://elmisbah.wordpress.com/persepsi-orientalis-terhadap-hadits/. Diakses pada Selasa, 4-10-2011 jam 09.00
http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=35:orientalis-menggugat-hadits-&catid=43:aliran-menyimpang&Itemid=103. Diakses pada Selasa, 4-10-2011 jam 09.00.
http://wildanhasan.blogspot.com/2009/01/metode-kritik-hadits-orientalis.html.
http://syiahali.wordpress.com/2011/07/02/kritik-orientalis-goldziher-dan-schacht-terhadap-hadis-sunni/
http://munfarida.blogspot.com/2010/05/kritik-orientalis-terhadap-hadits.html
http://agpaiaceh.blogspot.com/2011/01/atikel-kritik-orientalis-terhadap.html