curhat

togog semar dan batara guru


Togog, Semar, dan Bhatara guru

Di zaman yang sudah modern dan serba komputer ini, tak banyak lagi orang yang kenal dengan Togog, Semar, maupun Bhatara Guru. Paling hanya segelintir orang kuno, norak, dan ndeso saja yang masih kenal siapa mereka bertiga itu. bagi para penggandrung filsafat, kini sosok Togog, Semar, dan Bhatara Guru sudah tergantikan oleh Theodore Adorno, Hokhaimer, Antonio Gramschi, Juergen Habermas, dan Michael Foucoult. Tapi itu masih mendingan dari pada generasi berikutnya yang kenalnya sama Afgan, Luna Maya, Olga Syahputra, dan Manohara. Atau jangan-jangan sudah lebih dari itu, mereka mungkin sudah merambah ke kelasnya Inul Daratista, Trio Macan, dan Dewi Persik. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, maka muncullah generasi ketiga, generasi masa kini. Generasi ini, kenalannya adalah angkatannya Sintia, Sinta, Santi, dan, Siti, serta immawati-immawati yang lainnya. Kalo generasi yang ini sifat kenalannya lebih riil dan konkrit dari pada generasi-generasi sebelumnya. Baru ketemu, trus kenalan, jadi akrab, kemudian ditembak, kena, dan langsung jadian.
Togog bisa jadi adalah sebuah permainan tradisional anak-anak desa zaman dulu. Sejenis Petak Umpet, tapi bukan Petak Umpet. Petak Umpet itu lebih modernis dari pada Togog. Bahkan, Petak Umpet itu sudah go abroad ke Eropa, Amerika, dan Australia, sehingga orang sana mengenalnya dengan hide and seek. Kalo Togog belum pernah ke mana-mana, dia memang masih udik dan jadul. Ada tiga permainan tradisional lagi yang sama dengan Togog, sama-sama dari desa, dan sama-sama masih udik, mereka adalah Pel-Pelan, Sepak Tekong, dan Jumpritan.
Namun Togog dalam bahasan ini, bukanlah Togog jenis permainan seperti diutarakan barusan. Togog yang saya maksud di sini adalah Togog, saudara sulung dari Semar. Lho, siapa Semar itu? Semar itu ya adiknya Togog, dia adalah saudara tua dari Bhatara Guru. Lantas siapa Bhatara Guru itu? Bhatara Guru, ya adik bungsu dari Togog maupun Semar. Dialah pewaris tahta Kahyangan Jonggring Saloka. Dialah yang menjadi ketua umum dari para mahadewa dan dewa-dewa di kahyangan, begitulah kira-kira kalau kepemimpinan di kahyangan saat itu menganut asas collective collegial.
Togog, Semar, dan Bhatara Guru adalah putra-putra dari Sang Hyang Tunggal dengan Dewi Rekatawati, putri dari Sang Hyang Rekatatama. Dari pernikahan tersebut, Dewi Rakatawati melahirkan sebutir telur. Karena merasa kesal, maka Sang Hyang Tunggal membanting telur tersebut hingga pecah. Kemudian bagian cangkang dari pecahan telur tersebut menjelma menjadi sesosok mahluk yang diberi nama Antaga, Bhatara Antaga. Bagian putih telurnya, berubah menjadi mahluk yang diberi nama Bhatara Ismaya. Sedangkan bagian kuning telurnya berubah menjadi mahluk yang diberi nama Bhatara Manikmaya.
Setelah ketiga putra-putra Sang Hyang Tunggal tersebut telah dewasa. Maka terjadi perselisihan antara Antaga dengan Ismaya. Mereka saling berebut atas warisan tahta Kahyangan Jonggring Saloka nantinya. Mereka berdua kemudian bersepakat mengadakan sayembara bahwa yang berhak untuk mewarisi tahta Kahyangan Jonggring Saloka adalah yang berhasil menelan Gunung Jamurdipa dan berhasil memuntahkannya kembali.
Giliran pertama adalah Antaga, dengan segenap kesaktiannya ia mencoba untuk menelan bulat-bulat Gunung Jamurdipa. Namun ternyata Antaga gagal melakukannya, malahan mulutnya sobek menjadi lebar dan dower, matanya jadi melotot seperti hampir copot. Kemudian berikutnya adalah giliran Ismaya, Ismaya melakukan cara yang berbeda untuk menelan Gunung Jamurdipa. Dia memakan Gunung Jamurdipa perlahan-lahan, sehingga lama-kelamaan Gunung Jamurdipa telah berpindah ke dalam perutnya, sehingga perutnya menjadi besar dan membuncit. Matanya menyipit, hampir terpejam, karena kekenyangan. Namun masalahnya, dia tak berhasil memuntahkan kembali Gunung Jamurdipa yang telah dimakannya.
Di pihak lain, ternyata Sang Hyang Tunggal mengetahui tingkah polah kedua putranya tersebut. Dia marah atas keserakahan Antaga dan Ismaya, sehingga keduanya dikutuk menjadi mahluk yang lebih jelek lagi dari kondisi mereka saat itu. Untuk tahta Kahyangan Jonggring Saloka, Sang Hyang Tunggal memutuskan akan mewariskannya kepada putra bungsunya, Manikmaya. Manikmaya kemudian naik tahta bergelar Bhatara Guru. Dia memiliki beberapa istri dan banyak anak. Beberapa dari putra bhatara guru, menjadi dewa-dewa inti di kahyangan. Sedangkan putra-putranya yang lain, turun ke marcapada (dunia manusia). Ada yang hidup dan menjalani lakon sebagai resi dan kesatria, adapula yang hidup dan menjalani peran sebagai Asura (raksasa, denawa, dan angkara murka).
Tidak berhenti sampai di situ, Antaga dan Ismaya yang telah dikutuk menjadi jelek tadi, keduanya kemudian disuruh turun ke marcapada untuk melaksanakan tugas dari Sang Hyang Tunggal. Antaga ditugaskan untuk menjadi pembisik dan pemberi tuntunan kepada keturunan Bhatara Manikmaya dari golongan Asura tentang makna luhur kehidupan. Di marcapada, dia memakai nama Togog. Sedangkan Ismaya, di marcapada dikenal dengan sebutan semar. Ia ditugasi untuk mengasuh, mendidik, dan membantu para kesatria keturunan Bhatara Manikmaya dari jalur Resi Manumasa. Keturunan-keturunan Resi Manumasa inilah yang kemudian menjadi tokoh-tokoh utama, menjadi kader-kader dalam ceritera pewayangan yang memerankan karakter protagonis. Kalo mau diurut keturunan Resi Manumasa itu yakni mulai dari Prabu Sentanu, kemudian Resi Abiyasa, kemudian Prabu Pandudewanata, kemudian Pandawa, dan terakhir adalah Prabu Parikesit.
Di marcapada, Togog adalah sosok yang kuat pendiriannya, keras kepala, sedikit revolusioner, dan kurang arif dalam menyingkapi persoalan. Namun meskipun demikian, ia memiliki hati yang tulus dalam memperjuangkan kader, kader-kader asura keturunan manikmaya. Mulutnya yang lebar, melambangkan bahwa pengetahuannya luas dan banyak omong. Lebih-lebih, omongan-omongannya itu juga kritis, pedas, dan panas. Makanya tak jarang bila banyak telinga yang gatal dan memerah karena omongan dan isu-isu yang digembar-gemborkan olehnya. Dia juga teguh dalam memegang prinsip-prinsip serta moralitas IMM, Ikatan Mahadewa-Mahadewi maksudnya. Karena walaupun telah dikutuk menjadi jelek dan disuruh turun ke marcapada, namun ia juga masih terhitung mahadewa, bahkan terletak pada level yang tertinggi, sejajar dengan posisi manikmaya. Itulah yang menyebabkan tidak ada yang berani menghentikannya untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan Kahyangan Jonggring Saloka, meskipun telah cukup memekakkan telinga jajaran-jajaran eksekutifnya.
Sekanjutnya dalam kisah-kisah pewayangan, sosok Togog, jarang sekali muncul. Entah berada di mana dia, dan di mana tempat tinggalnya. Namun semangat, kepeduliannya terhadap kader, keteguhan prinsip, dan karakternya yang kritis telah melebur dan menyebar ke mana-mana. Merasuk ke dalam diri-diri kader yang vokal dan lantang bicaranya. Ketika ada kader yang angkat bicara dengan lantang, menyoal prinsip-prinsip dan moralitas yang mulai dilangar, mempertanyakan kembali makna ikatan, meluruskan shaf gerakan yang tengah kocar-kacir, serta mengkritisi kinerja pimpinan yang tengah berjalan, menuntut adanya kontrak politik, maka sesungguhnya dialah penjelmaan Togog itu. Suatu saat Togog atau perwujudannya pasti akan lebih mengokohkan eksistensinya, bangkit dari kubangan dan naik ke permukaan.
Berbeda dengan Togog, Semar atau Bhatara Ismaya memiliki pribadi yang lebih arif, berwibawa, tenang, dan bijak, serta berdedikasi tinggi. Sebenarnya dengan karakter-karakter seperti itu, cocok sekali bila kelak dia mencalonkan diri atau dicalonkan dalam bursa pemilihan Ketua Umum Kahyangan Jonggring Saloka. Namun sayang, keserakahan dan kesalahannya di masa lalu telah membuat track record-nya agak buruk. Di marcapada, tampak adanya keseriusan dari Semar untuk menebus kesalahan-kasalahan itu, semar diturunkan ke bumi dan ditugasi untuk menjadi emban pengasuh para ksatria, mengkader, melayani, dan membantu segala permasalahan mereka.
Bagi Semar, kutukan yang sedang ia jalani seperti sekarang ini, itu merupakan sebuah ujian dan tantangan tersendiri baginya. Dia menjalaninya dengan ikhlas, mantap, penuh semangat, namun alon-alon seng penting klakon. Terbukti dari hasil keikhlasan dan dedikasinya itu, banyak kader-kader yang berada dalam asuhan, didikan, dan pengkaderan yang dilakukan olehnya akhirnya menjadi resi yang bijak, ksatria tangguh dan raja-raja besar. Dalam melakukan tugas dan dedikasinya itu, semar dibantu oleh tiga orang anak angkatnya yaitu Bagong, Petruk, dan Nala Gareng. Mereka berempat, dalam dunia pewayangan kerap disebut sebagai Punokawan.
Setiap orang terlahir memiliki titik-titik kelemahan, begitupun juga dengan Semar. Di balik pribadinya yang tenang, arif, bijak, dan berwibawa tersembunyi emosi yang tinggi yang menjelma menjadi kesaktian yang dahsyat bila dia marah. Makanya jangan sekali-kali membuat Semar tersinggung, apalagi naik darah. Karena kalau dia sampai tersinggung, maka bisa-bisa dia mogok dan ndak mau melakukan tugasnya. Kalau sudah begitu, maka ujung-ujungnya tidak akan ada lagi ksatria hebat yang lahir. Para kader-kader asuhannya akan mangkrak semua.
Tapi Itupun masih mending, kalau dia sudah naik darah amarahnya sudah tak terkendali lagi, maka ia tak akan segan-segan untuk naik ke kahyangan. Ingat, bahwa dia adalah kakak dari Bhatara Guru, penguasa kahyangan, maka kesaktian dan kedigdayaan semar juga luar biasa. tak sulit baginya untuk mengobrak-abrik tatanan Kahyangan Jonggring Saloka. Bahkan tak perlu mengerahkan kesaktian yang macam-macam, kentutnya sudah cukup porak-poranda kahyangan. Mulai dari kahyangan Jonggring Saloka sendiri, dan merembet dampaknya hingga ke Kahyangan Keinderan, Kahyangan Suralaya, Sidiudal-Udal, Saptapratala, Kahyangan Setro Gondomayit, dan beberapa kahyangan tetangga lainnya. Kalau sudah seperti itu, biasanya Bhatara Narada lah yang diutus untuk membujuk dan menenangkan hati Semar. Begitulah Semar kalau dalam lakon pewayangan. Makanya sosok Semar ini tidak bisa dianggap remeh.
Kemudian si bungsu, Bhatara Guru, ia bagaikan kejatuhan durian. Dia akhirnya menduduki tahta Kahyangan Jonggring Saloka, karena kesalahan kedua kakaknya. Sebenarnya Bhatara Guru ini masih terlalu muda dan lumayan karbitan juga, ia tidak pernah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin. Namun Karena segala sesuatunya telah terjadi di luar perkiraan, dan karena keterpaksaan kondisi, maka tiada lagi pilihan, ia pun musti melaksanakan tanggung jawab menjalankan pemerintahan di Kahyangan Jonggring Saloka. Dari proses tata kelola kahyangan yang ia lakukan selama masa pemerintahannya itulah, sedikit demi sedikit ia mulai belajar. Karena hal itulah, maka wajar sekali jika kejadian-kejadian yang sifatnya trial and error sering terjadi.
Memang kalau dibandingkan dengan kedua kakaknya, Bhatara Guru masih jauh, baik dari segi kemampuan, kedigdayaan, dan karakter. Bhatara Guru tidak begitu memiliki karakter-karakter yang menonjol sebagai pemimpin. Namun meskipun begitu, dia juga memiliki sisi kelebihan tersendiri, yang tidak dimiliki oleh kedua kakaknya. Dia lebih fleksibel, kompromistis, dan relatif mampu menyatukan kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam jajaran eksekutifnya. Namun di sisi lain, Dia kurang punya idealisme dan keteguhan prinsip seperti yang dimiliki oleh kakak-kakaknya, sehingga ekses dari semua itu, ia terkesan kerap terombang-ambing kemana-mana di tengah perbedaan-perbedaan kepentingan yang melingkupinya, seolah dia tidak mempunyai sebuah ketegasan sebagai seorang pemimpin.
Namun bagaimanapun juga kita mesti acungi jempol juga kepada Bhatara Guru ini, karena kiprah yang ia lakukan selama satu periode di kahyangan ini sangat banyak. Dia adalah sosok pekerja keras memang. Dan dari pengalaman kepemimpinan yang telah ia jalani tampaknya kini jauh lebih tangguh dan sakti mandraguna dari sebelumnya, cepat bertindak, tangkas, strategis, solutif, serta mampu untuk mempengaruhi hasil keputusan yang diambil, tanpa terkesan memaksa.
Masa pemerintahan Kahyangan Jonggring Saloka tak terasa hampir usai. Berarti sebentar lagi tentu akan diselenggarakan Muskah (Musyawarah Pimpinan Kahyangan). Mengenai bursa para kandidat ketua kahyangan isunya sudah santer bermunculan. Siapa ya kira-kira mereka? Ya ndak usah jauh-jauh, sudah bisa diprediksikan pastinya tiga bersaudara seperteluran keturunan Sang Hyang Tunggal itulah yang akan maju sebagai kandidatnya. Bhatara Guru sebagai incumbent, Semar, dan Togog. Bisa tiga-tiganya yang maju, dua diantaranya, atau mungkin salah satunya saja. Tergantung dari kemauan dan tekad dari masing-masing mereka menjelang hari-H pemilihan. Dan juga tergantung dari persyararan administrasi yang ditetapkan oleh panlihnya. Mengenai siapa nantinya mendapat rekom, dan siapa yang benar-benar maju, serta siapa yang akan keluar sebagai pemenangnya, ya kita tunggu saja, kita ikuti proses musyawarah kahyangan jonggring saloka dengan hikmad.
Namun terlepas dari itu semua, kedepan harapannya, siapapun yang jadi, semoga mampu membawa Kahyangan Jonggring Saloka menjadi sebuah institusi yang disegani. Siapapun yang dipilih oleh kader melalui muskah, haruslah yang mempunyai visi kedepan yang jelas, tujuan serta motivasi yang tidak kabur. Kahyangan Jonggring Saloka ke depan, memerlukan sebuah revitalisasi serta pemulihan karakter sehingga dapat membedakannya dengan institusi-institusi yang lainnya. Mampu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi para dewa-dewa yang hidup di dalamnya. Kembali memancangkan tonggak nilai-nilai moral, aturan, serta pedoman yang prinsipil. Menata kembali shof-shof barisan yang kocar-kacir. Menyatukannya dalam sebuah naungan prinsip dan satu komando. Demi untuk mewujudkan tipologi kahyangan yang ideal dan mencetak generasi-generasi yang berjuang dengan dilandasi oleh keikhlasan, loyalitas, dan semangat garda perjuangan.

0 komentar:

Posting Komentar