curhat

Gerakan wanita


GELOMBANG TSUNAMI GUGATAN KAUM HAWA
Oleh :

Idris Mahmudi, Amd.Kep;S.Pd.I.*
HP : 081336385486.
Email : idris_mahmudi@yahoo.co.id.
Blog : www.tata-h5xidris8sukses.blogspot.com.

Bicara tentang wanita dengan segala seluk-beluk dan dinamikanya memanglah unik dan takkan pernah ada habisnya. Secara historis, perjalanan kaum hawa memang penuh perjuangan. Perjuangan itu menjadi memori tersendiri bagi setiap wanita yang terlahir ke dunia. Celakanya, bila memori itu adalah kenyataan ironis sebuah “kesewenang-wenangan” dan “penindasan” yang pelakunya di-alamatkan pada kaum Adam. Nyaris “memori hitam” itu takkan pernah terlupakan dan selalu teringat oleh pita rekam wanita, siapapun dia, dimanapun tempatnya dan sampai kapanpun. Sebagai contoh beberapa referensi “memori hitam” kaum hawa itu adalah :
1. Di Nepal ada sebuah adat yang namanya Devaki. Adat Devaki ini mengharuskan untuk membakar hidup-hidup wanita, karena dengan demikian (anggapan mereka) akan mendatangkan kesejahteraan dan mengusir penderitaan yang ada.
2. Di Eropa zaman kekaisaran ada budaya yang bernama Primae Noctis. Budaya Primae Noctis ini adalah sebuah praktek dimana perempuan yang akan menikmati malam pertama dengan suaminya dalam perkawinannya, harus dinikmati (diperawani) dulu oleh raja yang berkuasa saat itu.
3. Di masyarakat Jawa zaman kerajaan, perempuan hanya dijadikan selir-selir maupun gundik pemuas nafsu birahi kaum bangsawan.
4. Bahkan di masyarakat Arab jahiliyah pada zaman pra-islam, bila seseorang melahirkan manusia yang berjenis kelamin wanita dianggap aib, menanggung malu dan harus dikubur hidup-hidup. Masyarakat arab jahiliyah lupa bahwa yang melahirkan wanita itu adalah isteri mereka seorang wanita juga.
Beberapa contoh itu menjadikan kenangan traumatik tersendiri bagi kaum hawa, sampai-sampai berkembang animo bahwa wanita itu hanya melingkupi “3 Ur” yaitu : “sumur, dapur dan kasur”. Sumur representasi dari kebersihan, dapur representasi dari makanan dan kasur representasi dari pemuasan seks lelaki. Bahkan yang lebih ekstrim bahwa orang jawa menyebut wanita sebagai makhluk yang tugasnya hanya “masak, macak, dan manak”. Sadar akan sejarah masa lalunya, maka wanita berusaha me-record pengalaman traumatiknya. Mereka bangkit, menentang dan melawan yang kadang malah kebablasan dan keluar dari rel kewanitaannya baik secara etika maupun secara estetika. Wacana emansipasi wanita, kesetaraan gender dan gerakan feminisme mulai membahana dalam dunia akhir-akhir ini.
Bagaimana islam menyikapi gugatan kaum wanita semacam emansipasi, kesetaraan gender ataupun feminisme ? Islam adalah agama tengah-tengah yang tidak ekstrim “kanan” dan juga tidak ekstrim “kiri”, dan pada dasarnya islam adalah agama yang membebaskan umat manusia khususnya pembebasan bagi kaum wanita. Contohnya: saat islam belum datang, masyarakat Arab mengubur hidup-hidup bayi wanitanya. Tapi saat islam datang, hak hidup wanita diberikan, bahkan anak kesayangan pembawa risalah islam (Muhammad SAW) adalah seorang wanita (Fatimah binti Muhammad). Jadi islam adalah agama feminis dan sangat peduli terhadap gugatan batin kaum hawa.
Emansipasi wanita adalah gugatan kaum hawa dalam bidang peran dan aktivitasnya secara publik sebagaimana laki-laki. Penulis setuju dengan hal ini, asalkan tidak sampai melanggar kodrati kewanitaannya. Wanita main bola dan memanjat pohon kelapa tidak ada salahnya. Namun apakah itu pantas dan estetis ? begitu pula dalam hal kesetaraan gender. Patut kita bedakan antara seks dan gender. Seks berkaitan dengan kelamin, rahim, payudara dan reproduksi, dan itu absolut kodrati yang tidak bisa dirubah. Memaksa merubah dengan operasi bedah plastik misalnya sama dengan menolak taqdir Tuhan yang diberikan padanya. Gender identik dengan peran semisal : keibuan, mengurus rumah tangga, mencuci dan memasak. Jika kesetaraan gender dianggap sebagai persamaan : bila wanita memasak, maka lelaki harus memasak pula, ya monggo-monggo saja asalkan ada kompromistis antara kedua jenis kelamin. Bisa jadi lelaki sebagai ibu bagi anak-anaknya, sedang wanita sebagai pencari nafkah sekaligus kepala rumah tangganya. Namun pantaskan yang demikian itu secara sosiologis ?
Mengenai feminisme. Feminisme berasal dari kata feminine dan isme. Feminine berarti wanita sedang isme berarti faham. Jadi secara etimologi feminisme berarti faham / gerakan kewanitaan, dan feminisme mengalami pemetaan. Ada 4 aliran feminisme di dunia yaitu : feminisme liberal, feminisme Marxis, feminisme radikal dan feminisme sosialis. Dari ke-4 feminisme itu tampaknya masyarakat lebih dapat menerima pemikiran Vandana Shiva, yaitu Echo-feminisme. Karena faham echo-feminisme ini mencoba meng-akulturasikan (memadukan) kodrat wanita dengan kondisi social-objektif perempuan saat ini. Perlawanan kaum wanita untuk menunjukkan existensinya begitu dahsyat laksana gelombang pasang tsunami. Tahukah anda akibat dari tsunami ?
Feminisme itu bagus, bahkan perlu asalkan masih dalam frame yang proporsional, dan tidak kebablasan menjadi liberal maupun radikal yang akan berakibat fatal. Sebagai contoh perlawanan wanita yang radikal adalah Annable Chong. Ia adalah wanita kelahiran Singapura dan menyelesaikan program Doktoralnya (S3) di Amerika. Di usianya yang ke-22 tahun, ia membuat dunia terkejut. Ia meng-ikhlaskan tubuh moleknya untuk dinikmati (disetubuhi) oleh 251 laki-laki. Semua laki-laki itu mengalami orgasme dan kontan saja 251 laki-laki itu terkulai lemas dan tertidur pulas sesaat setelah ejakulasi sementara Annable Chong masih tampak segar dan “bersemangat”. Adegan itu Ia (Annable Chong) sebarkan melalui kepingan CD porno. Ia bukannya orang gila, tapi ia melakukan semua itu diatas kesadaran penuh yang composmentis. Ia hanya ingin membuktikan pada dunia akan existensi seorang wanita. Ia hanya ingin menepis stigma bahwa wanita makhluk yang lemah dihadapan pria. Ia contohkan keperkasaan dirinya yang mampu menaklukkan 251 laki-laki diatas ranjang bergoyang. Salahkah ia … Annable chong tidak salah, hanya saja perlawanan kewanitaannya dalam bingkai feminisme yang ia lakukan terlalu radikal sehingga secara kultur baik dalam pandangan etika maupun estetika, masyarakat tidak dapat menerimaya.
Jika Annable Chong membuktikan ketegaran wanitanya melalui seksualitas, lain halnya dengan prof. Dr. Amina Wadud. Ia adalah professor studi islam dan studi agama di depertemen filsafat Virginia Commenwealth University. Pada hari Jum’at 18 Maret 2005 dunia islam geger. Ia menjadi khotib dan imam sholat Jum’at di sebuah gereja Anglikan the Synod house of the cathedral of St. john the divine Newyork Amerika Serikat. Mu’adzinnya pun seorang wanita dari mesir bernama Suhayla el-Attar. Jamaahnya tidak hanya wanita, tapi beragam, wanita dan pria. Yang unik lagi, shof (barisan sholat) bersatu tanpa pembatas, wanitanya ada yang berjilbab dan ada yang tanpa menutup aurot (pakaian you can see). Ia sadar betul dengan apa yang ia lakukan. Amina Wadud hanya ingin supaya dunia memandang kaum wanita. Ia hanya ingin existensi wanita setara dengan pria. Salahkah Amina Wadud ? … Seandainya saja ia mendeklarasikan agama baru, mungkin saja tiada kesalahan baginya. Hanya saja ia mengikatkan tindakannya pada islam, dan ia lupa bahwa secara normatif teologi islam yang demikian itu bertentangan.
Kongkritnya, menurut hemat penulis : silahkan saja kaum wanita melakukan gugatan baik melalui wacana emansipasi, kesetaraan gender maupun feminisme asalkan tidak kebablasan, proporsional dan tidak bertentangan dengan etika normatif yang ada, baik normatif agama, normatif budaya yang berlaku pada masyarakat maupun kelayakan estetika.

* penulis adalah guru, perawat-akupunturis, alumni IMM dan dosen Bantu di D3 Fikes UNMUH Jember.

0 komentar:

Posting Komentar