curhat

DISKUSI Pasca Sarjana


FITRAH MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENDIDIKAN
PERSPEKTIF AL QUR’AN DAN AL-HADITS
( Oleh Moh. Nur Afandi )

A. PENDAHULUAN
Kajian tentang manusia telah banyak dilakukan para ahli yang selanjutnya dikaitkan dengan berbagai kegiatan, seperti politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan, agama dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukan karena manusia selain sebagai subjek (pelaku), juga sebagai objek (sasaran) dari berbagai kegiatan tersebut. Termasuk dalam kajian Ilmu Pendidikan Islam. Pemahaman terhadap manusia menjadi penting agar proses pendidikan tersebut dapat beerjalan dengan efektif dan efisien.
Pengetahuan tentang asal kejadian manusia adalah amat penting dalam merumuskan tujuan pendidikan bagi manusia. Asal kejadian ini justru harus dijadikan pangkal tolak dalam menetapkan pandangan hidup bagi orang Islam. Pandangan tentang kemakhlukan manusia cukup menggambarkan hakikat manusia. Manusia adalah makhluk (ciptaan) Allah adalah salah satu hakikat wujud manusia.
Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an mengungkapkan pendapat Alexis Carrel tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia bahwa “Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan dan para ahli bidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia -kepada diri mereka- hingga kini masih tetap tanpa jawaban.”
Satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada wahyu Illahi (Al-Qur’an) dan Al-Hadits (Rosulullah SAW), agar kita dapat menemukan jawabannya. Bagaimanakah perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits tentang hakikat dan fitrah manusia sebagai makhluk pendidikan?
Makalah ini berusaha mengungkapkan Hakikat dan Fitrah manusia sebagai makhluk pndidikan dalam perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits.

B. PEMBAHASAN
1. Hakikat Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an
Apa Hakikat manusia dalam perspektif Al-Qur’an? Di dalam Al-Qur’an, manusia merupakan salah satu subjek yang dibicarakan, terutama yang menyangkut asal-usul dengan konsep penciptaannya, kedudukan manusia dan tujuan hidupnya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena Al-Qur’an memang diyakini oleh kaum muslimin sebagai firman Allah SWT yang ditujukan kepada dan untuk manusia.
Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia, yaitu: 1). Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin semacam Insan, Ins, Nas atau Unas. 2). Menggunakan kata Basyar. 3). Menggunakan kata Bani Adam dan Dzuriyat Adam.
Sementara Ramayulis dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam mengatakan bahwa istilah manusia dalam Al-Qur’an dikenal tiga kata, yakni kata al-Insân, al-Basyâr dan al-Nâs.
Walaupun ketiga kata di atas menunjukkan arti pada manusia, tetapi secara khusus memiliki pengertian yang berbeda:



1) Al-Insân
Al-Insân terbentuk dari kata نسي – ينسَ yang berarti lupa. Kata al-insân dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 surat. Penggunaan kata al-insân pada umumnya digunakan pada keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan makhluk psikis disamping makhluk pisik yang memiliki potensi dasar, yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang mulia dan tertinggi dibandingkan makhluk-Nya yang lain.
Nilai psikis manusia sebagai al-Insân yang dipandu wahyu Ilahiyah akan membantu manusia dalam membentuk dirinya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang terwujud dalam perpaduan iman dan amalnya. Sebagaimana firman Allah SWT :
         
Artinya:
“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
(QS. At-Thiin: 6)
Dengan pengembangan nilai-nilai tersebut, akhirnya manusia mampu mengemban amanah Allah SWT di muka bumi.
Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an mengatakan bahwa kata Insan diambil dari akar kata Uns yang berarti Jinak, Harmonis dan Tampak. Menurutnya pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia diambil dari kata Nasiya (lupa), atau Nasa-Yanusu yang berarti (berguncang). Kata insan, digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.
Kata al-insân juga menunjukkan pada proses kejadian manusia, baik proses penciptaan Adam maupun proses manusia pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan berproses.
Firman Allah:
                   
Artinya:
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah”. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya”. (QS. Shaad: 71-72)
             • 
Artinya:
dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (QS. Al-Mukminûn: 12-13)
2) Al-Basyar
Al-Basyar diambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata Basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.
Kata Al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali yang tersebut dalam 26 surat.
Kata-kata tersebut diungkap dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dua) untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.
Pemaknaan manusia dengan Al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum, perlu hiburan, seks dan lain sebagainya. Karena kata Al-Basyar ditunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, ini berarti nabi dan rasul pun memiliki dimensi Al-Basyar seperti yang diungkapkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 110:
      
Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku… (QS. Al-Kahfi 110)
Dengan demikian penggunaan kata al-basyar pada manusia menunjukkan persamaan dengan makhluk Allah SWT lainnya pada aspek material atau dimensi jasmaniahnya.
3) Al-Nâs
Kata al-nâs menunjukkan pada hakikat manusia sebagai makhluk social dan ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakah beriman atau kafir. Penggunaan kata al-Nâs lebih bersifat umum dalam mendefinisikan hakikat manusia dibanding dengan kata al-insân.
Kata al-Nâs juga dipakai dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa karakteristik manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT dengan berbagai potensi yang bisa digunakan manusia untuk mengenal Tuhannya, namun hanya sebagian manusia saja yang mau mempergunakannya, sementara sebagian yang lain tidak, justru mempergunakan potensi tersebut untuk menentang ke-Mahakuasa-an Tuhan. Dari sini terlihat bahwa manusia mempunya dimensi ganda, yaitu sebagai makhluk yang mulia dan yang tercela.
Dari uraian di atas, bahwa pendefinisian manusia yang diungkap dalam Al-Qur’an dengan istilah Al-Insân, Al-Basyar dan al-Nâs menggambarkan tentang keunikan dan kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik/jasmani), dan immaterial (psikis/ruhani) yang dipandu oleh ruh Ilahiah. Kedua aspek tersebut saling berhubungan.
Dengan kelengkapan dua aspek material dan immaterial di atas, manusia dapat melaksanakan tugas-tugasnya. Disini manusia memerlukan bimbingan, binaan dan pendidikan yang seimbang, harmonis dan integral, agar kedua aspek tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif.

2. Proses Penciptaan Manusia
Manusia adalah makhluk Allah. Ia bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi dijadikan oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur‟an Surat Ar-Rum ayat 40, yang berbunyi:
             •           
Artinya:
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali)”
(QS. Ar-Rum : 40)
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang unsur penciptaannya terdapat ruh Illahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali sedikit.
               
Artinya:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. Al-Israa : 85)
Proses penciptaan manusia seperti yang dimuat pada Al-Qur’an Surat Ash-Shaad ayat 71-72 dan Al-Mukminûn ayat 12-13 di atas, penggunaan kata al-Insân mengandung dua dimensi, Pertama; dimensi tubuh/materiil (dengan berbagai unsurnya). Kedua; dimensi spiritual (ditiupkan-Nya ruh-Nya kepada manusia).
Quraish Syihab dalam Wawasan Al-Qur’an menjelaskan bahwa Al-Qur’an ketika berbicara tentang penciptaan manusia pertama, menunjuk kepada sang Pencipta dengan menggunakan pengganti nama berbentuk tunggal :
         
Artinya:
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah”.
(QS. Shâd: 71)
               
Artinya:
Allah berfirman: “Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. (QS. Shâd: 75)

Tetapi ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum, Yang Maha Pencipta ditunjuk dengan menggunakan bentuk jamak.
           •           
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.(QS. Al-Hijr: 28-29)
Seperti telah disebutkan di atas bahwa Al-Qur’an juga menggunakan kata ath-Thin untuk unsur materiil asal manusia. Salah satunya menggunakan kata Sulâlatin Min Thîn, dalam konteks kejadian manusia pada umumnya. Di bagian lain diungkap menggunakan kata thînin lâzib seperti yang termuat dalam Al-Qur’an Surat Ash-Shâffât ayat 11:
     •       
Artinya:
Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): “Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?” Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat. (QS. Ash-Shâffât : 11)
Selain menggunakan kedua kata di atas (sulâlatin min thîn dan thînin lâzib), dalam Al-Qur’an juga terdapat kata shalshâl yang dirangkai dengan ungkapan min hama‟in masnûn seperti yang disebut dalam Surat Al-Hijr ayat 26:
       • 
Artinya:
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
     
Artinya:
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar
(QS. Ar-Rahmân ; 14)
Dari uraian di atas, kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan unsur materiil asal-usul manusia adalah:
- Sulâlah artinya bagian yang ditarik dari sesuatu dengan pelan dan tersembunyi. Bagian yang ditarik tersebut menurut Ath-thabarsyi disebut sebagai sari sesuatu yang dikeluarkan darinya (shafwatusy-syay‟I al-latî yakhruju minhâ).
- Shalshâl yang berarti tanah lempung, berasal dari kata shalshalah yang artinya berbunyi, tanah lempung disebut dengan shalshalah karena ia mengeluarkan bunyi bila sudah kering seperti tembikar (al-fakhkhâr) yang mengeluarkan bunyi seperti suara besi bila berantukan.
- Lâzib, para mufassir sering mengartikan thînun lâzib dengan thînun lâshiq yang maksudnya tanah yang lengket.
- Hama‟un masnûn, kata hama‟ adalah kata lain yang menunjuk pada jenis tanah asal manusia. Kata hama‟un pada dasarnya berarti tanah hitam yang berbau busuk. Arti tersebut tidak jauh berbeda dengan arti yang dikemukakan ath-Thabary sebagai tanah yang berubah menjadi hitam.
Kata Turâb disebutkan sebagai unsur materiil asal manusia yang berarti juga „tanah‟ atau „debu‟. Semua kata tersebut menjelaskan unsur materiil dari ciptaan manusia yang terdiri dari bermacam-macam jenis tanah yang boleh jadi melambangkan komponen-komponen kimiawi pembentuk fisik manusia, dan inti tanah yang berupa tanah lempung dan berbau, menggambarkan suatu unsur materiil yang amat sederhana dan rendah. Unsur inilah yang digabungkan dengan unsur yang amat sempurna dan mulia yakni ruh Tuhan.
Ruh Tuhan yang ditiupkan ke dalam unsur materi manusia itu merupakan ruh kehidupan yang suci. Ungkapan yang digunakan Al-Qur’an adalah rûhiy (ruh-Ku) dan rûhih (ruh-Nya).
         
Artinya:
Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (QS. Al-Hijr : 29)
              •  
Artinya:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur .(QS. As-Sajdah: 9)
Perpaduan antara dua unsur di atas (unsur materiil dan unsur ruh) menunjukkan suatu perpaduan unsur yang bersih dan baik, namun mempunyai karakter yang berlawanan, yaitu unsur yang rendah dan hina dengan unsur yang suci dan mulia.
Disamping dua unsur di atas, akal adalah salah satu aspek penting dalam hakikat manusia. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang akal. Akal adalah alat untuk berpikir. Jadi salah satu hakikat manusia ialah ia ingin, ia mampu dan ia berpikir.
Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam mengatakan bahwa menurut Harun Nasution ada tujuh kata yang digunakan Al-Qur’an untuk mewakili konsep akal; yaitu
Pertama, kata Nazara
       •     
Artinya:
Maka Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun ? (QS. Qaaf: 6)
Kedua, kata Tadabbara
         
Artinya:
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. Al-Nahl : 29)
Keempat, kata Faqiha. Kelima, kata Tadzakkara. Keenam, kata fahima. dan Ketujuh, kata Aqala. Kata aqala dalam Al-Qur’an kebanyakan digunakan dalam bentuk fi‟il (kata kerja), hanya sedikit dalam bentuk ism (kata benda). Ini menunjukkan bahwa pada akal yang penting ialah berpikir bukan akal sebagai otak yang berupa benda.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia adalah terdiri atas unsur jasmani, ruhani dan akal.

3. Nilai Pendidikan Dalam Proses Kejadian Manusia
Manusia insan secara kodrati, sebagai ciptaan Allah SWT yang sempurna bentuknya dibandingkan dengan ciptaan Allah lainnya. Manusia juga sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya.
Kemampuan lebih yang dimiliki manusia itu adalah kemampuan akalnya. Untuk itulah manusia sering disebut sebagai Animal Rational atau Hayawan al-Nâtiq, yaitu binatang yang dapat berpikir. Melalui akalnya manusia berusaha memahami realitas hidupnya, memahami dirinya serta segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Yang banyak dibicarakan oleh Al Qur‟an tentang manusia adalah sifat-sifatnya dan potensinya. Potensi manusia dijelaskan oleh Al-Qur’an antara lain melalui kisah Adam dan Hawa dalam Surat Al-Baqarah ayat 30-39. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan ruh Ilahi (akal dan ruhani), manusia dianugrahi pula:
(1) Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam
Dengan potensi ini manusia adalah makhluk yang berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan dan mengemukakan gagasan atau ide serta melaksanakannya. Potensi ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang tadinya merasa wajar untuk dijadikan khalifah di muka bumi, dan karenanya malaikat bersedia sujud (penghormatan) kepada Adam.
(2) Pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akabat buruknya. Pengalaman di surga adalah arah yang harus dituju dalam membangun dunia ini, kecukupan sandang, pangan dan papan serta rasa aman terpenuhi, sekaligus arah terakhir bagi kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan godaan iblis, dengan akibat yang sangat fatal itu, adalah pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan iblis di dunia.
(3) Petunjuk-petunjuk keagamaan. Secara tegas Al-Qur’an mengemukakan bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah dan ruh Ilahi melalui proses yang tidak dijelaskan rinciannya, sedangkan reproduksi manusia walaupun dikemukakan tahapan-tahapannya, namun tahapan tersebut lebih banyak berkaitan dengan unsur tanahnya.
Isyarat yang menyangkut unsur immaterial ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia dan dari uraian tentang fitrah, nafs, qalb dan ruh yang menghiasi manusia.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia memiliki fitrah. Fitrah di sini adalah potensi. Manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan; kemampuan itulah yang disebut pembawaan. Sabda Rosulullah SAW:
Artinya:
“Tiap-tiap orang dilahirkan membawa fitrah; ayah dan ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR Bukhori dan Muslim).
Fitrah yang disebut dalam hadits di atas adalah potensi. Potensi adalah kemampuan; jadi fitrah yang dimaksud disini adalah pembawaan. Ayah dan ibu dalam hadits ini adalah lingkungan sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan. Kedua-duanya (pembawaan dan lingkungan) itulah, menurut hadits tersebut yang menentukan perkembangan seseorang.
Pengaruh itu terjadi baik pada aspek jasmani, akal maupun aspek rohani. Aspek jasmani banyak dipengaruhi oleh alam fisik (selain oleh pembawaan), aspek akal banyak dipengaruhi oleh lingkungan budaya (selain oleh pembawaan), dan aspek rohani dipengaruhi oleh kedua lingkungan itu (selain oleh pembawaan). Pengaruh-pengaruh itu berbeda tingkat dan kadar pengaruhnya antara seseorang dengan orang lain.
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud fitrah itu? Dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari akar kata al-Fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain antara lain “penciptaan” atau “kejadian”. Jadi fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir. Di dalam Al-Qur’an diungkapkan: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Merujuk kepada fitrah yang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiaannya membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Muncul pertanyaan, apakah fitrah manusia hanya terbatas pada keagamaan? Jelas tidak. Masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptaan potensi manusia, walaupun tidak menggunakan kata fitrah, seperti:
Artinya:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
(QS. Ali „Imrân: 14)
Manusia berjalan dengan kakinya adalah contoh fitrah jasadiyah, sementara menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fitrah aqliyah. Senang menerima nikmat, dan sedih bila ditimpa musibah adalah juga fitrah. Jadi fitrah adalah:

الفطزة ى النظام الذ ا جًذه الله ف كل هخل قٌ اًلفطزة الت تخص ن عٌ الانساى
ى ها خلقو الله عليو جسذا عًقلا

Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani, akal dan ruhnya.
Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa Fitrah (potensi) yang dijelaskan oleh Al-Qur’an antara lain;
1) Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia itu membawa sifat ingin bermasyarakat. (QS. Al-Hujurât 13)
2) Manusia sebagai makhluk yang ingin beragama (QS Al-Mâidah 3; Al-A‟râf 172), karena itu pendidikan agama dan lingkungan beragama perlu disediakan bagi manusia.
3) Manusia itu mencintai wanita dan anak-anak, harta benda yang banyak, emas dan perak, kuda-kuda pilihan (kendaraan sekarang), ternak dan sawah lading (QS. Ali „Imrân: 14)



4. Kedudukan Manusia
Kesatuan wujud manusia antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwim. Dalam hubungannya dengan Pendidikan Islam, menempatkan manusia pada posisi yang strategis, yaitu: a). Manusia sebagai makhluk yang mulia b). Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi c). Manusia sebagai makhluk paedagogik
a. Manusia sebagai makhluk yang mulia
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Manusia adalah hamba Allah (abd Allah). Esensi dari ketaatan seorang hamba adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan terhadap Tuhannya. Sebagai hamba Allah manusia tidak bisa lepas dari kekuasaan-Nya karena fitrah untuk beragama.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Al-Ruum 30)
Berdasarkan ayat di atas, menjelaskan bahwa bagaiamana pun primitifnya suku bangsa manusia, mereka akan mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya. Dengan demikian, rasa tunduk dan kepatuhan manusia kepada Zat Yang Maha Agung, merupakan tabiat asli (fitrah) manusia yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai nilai ubudiyah kepada-Nya. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzâriyât 56)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada Allah SWT.
b. Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi
Fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi ini, dijelaskan oleh Al-Qur’an berikut;
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah 30)
Artinya:
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat” (QS Al-An‟am 165)
Ayat-ayat di atas disamping menjelaskan kedudukan manusia di alam raya ini sebagai khalifah, juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etika yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya.
Untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia seperangkat potensi (fitrah) berupa aql, qalb dan nafs. Namun demikian, aktualisasi fitrah itu tidaklah otomatis berkembang melainkan tergantung pada manusia itu sendiri. Untuk itu, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi dan Rosul, agar menjadi pedoman bagi manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh, selaras dengan tujuan penciptaanya, sehingga manusia dapat tampil sebagai makhluk Allah yang tinggi martabatnya.
Ahmad Hasan Firhat dalam bukunya Jalaluddin membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk: Pertama, khalifah kauniyah. Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang telah dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan umat manusia di muka bumi. Dalam konteks ini, wewenang manusia meliputi pemaknaan yang bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya label kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia sebagai penguasa alam semesta.
Jika dimensi ini yang dijadikan standar dalam melihat predikat manusia sebaga khalifah Allah fi al-ardh, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dan alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan mempergunakan alam semesta sebagai konsekuensi kekhalifahannya tanpa control dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiah. Akibatnya keberadaannya di muka bumi, bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat kerusakan dan merugikan makhluk Allah lainnya.
Kedua, khalifah Syar’iyat; Dimensi ini wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan agar dengan keimanan yang dimilikinya, mampu menjadi pilar dan control dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta ini demi kemaslahatan umat manusia.
c. Manusia sebagai makhluk paedagogik
Makhluk paedagogik ialah makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik. Manusia adalah makhluk paedagogik, karena memiliki potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi. Manusia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah itu. “(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.” (QS. Al-Rum 30)
Manusia adalah makhluk yang dapat berpikir, merasa dan bertindak dan terus berkembang. Fitrah inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dari sinilah semakin jelas bahwa manusia adalah makhluk paedagogik.
Meskipun demikian, jika potensi itu tidak dikembangkan, niscaya ia akan kurang bermakna dalam kehidupan. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan pengembangan itu senantiasa dilakukan dalam usaha dan kegiatan pendidikan.
Teori nativis dan empiris yang dipertemukan oleh Kerschenteiner dengan teori konvergensinya, telah ikut membuktikan bahwa manusia itu adalah makhluk yang dapat dididik dan mendidik (Animal Educandum dan Animal Educable).

C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam perspektif Al-Qur’an, manusia merupakan salah satu subjek yang dibicarakan, terutama yang menyangkut asal-usul dengan konsep penciptaannya, kedudukan manusia dan tujuan hidupnya. Istilah manusia dalam Al-Qur’an dikenal tiga kata, yakni kata al-insân, al-basyâr dan al-nâs.
2. Pendefinisian manusia yang diungkap dalam Al-Qur’an dengan istilah Al-Insân, Al-Basyar dan al-nâs menggambarkan tentang keunikan dan kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik/jasmani), immaterial (psikis/ruhani) yang dipandu oleh Ruh Ilahiah dan akal. Aspek-aspek tersebut saling berhubungan.
3. Kesatuan wujud manusia antara fisik, psikis dan akal serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwim. Dalam hubungannya dengan Pendidikan Islam, menempatkan manusia pada posisi yang strategis, yaitu: a). Manusia sebagai makhluk yang mulia b). Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi c). Manusia sebagai makhluk paedagogik
4. Manusia adalah makhluk paedagogik, karena memiliki potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi. Manusia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah itu.
5. Kajian terhadap konsep manusia sebagai makhluk belajar (paedagogik) penting dilakukan, karena berbagai rumusan tentang pendidikan dengan berbagai komponennya baru akan dapat dicapai apabila berdasarkan pada konsep manusia yang benar.
6. Islam dengan sumber utamanya Al-Qur’an dan Al-Hadits, ternyata mengandung petunjuk yang jelas tentang konsep manusia yang dapat diterapkan dalam merancang konsep pendidikan.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Remaja RosdaKarya. Cet.V 2010.
Drajat, Zakiah. Ilnu Pendidikan Islam. Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Depag. 2005
Hitami, Munzir. Revolusi Sejarah Manusia. Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara. 2009.
Ibn Jarîr ath-Thabary, Muhammad, Jami’al-Bayân ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’ân, XII (Kairo: Mushthâfâ al-Bâbiy al-Halabiy, 1954.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan. Jakarta, Grafindo Persada, 2003.
Muhaimin, Pradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan di Sekolah Bandung: Rosda karya, 2004.
Majid, Nurcholis. Islam Kemodern dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1991.
Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta : Prenada Media Group. 2009.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia. cet. VIII. 2010.
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat. Bandung : Mizan, Cet. VII, 1998.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya,cet. VII 2007.
Ihsan, Hamdani dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998.

MENGGUGAT HADIS


PENUGASAN TERSTRUKTUR


Mata Kuliah : Studi Hadis.
Dosen pembina : Dr. Kasman; M.Fil.I.
Sub Tema : Kritik Orietalis Terhadap Hadis.
Disusun Oleh : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.
Email : idris_mahmudi@yahoo.co.id



PASCA SARJANA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

TAHUN 2011 / 2012



ORIENTALIS MENGGUGAT HADIS
A. Prolog
Islam adalah agama yang dasarnya sangat mapan (establish) dan kokoh. Menurut Abdul Wahab Kholaf, pilar hukum Islam terdiri dari : 1. Al-Qur’an, 2. Al-Hadis, 3. Ijma’, 4. Qiyas, 5. Istihsan, 6. Masholihul Mursalah, 7. Urf, 8. Istishab, 9. Syar’u Man Qoblana, 10. Madzhab Shohabi. Kesepuluh pilar dasar hukum diatas pada akhirnya terbagi 2 besar, yaitu : Mutafaqun fiihi (4 dasar yang pertama) dan Mukhtalafun Fiihi (6 dasar yang terahir). Dari 4 dasar yang pertama dimana mayoritas mutafaqun fiihi (sepakat atas keterpakaiannya), master of law-nya adalah 2 yang pertama Al-Qur’an dan Hadis sehingga muncul slogan Ar-ruju’u ilal Qur’an was-Sunnah, (setidaknya di Indonesia slogan ini dipopulerkan oleh organisasi Muhammadiyah). Karena kedua dasar itu sama-sama wahyu yang otentik dan kebenarannya Absolut. Namun akhir-akhir ini (sejak awal/pertengahan abad 19), 2 pilar yang kokoh itu digoyang oleh gerakan Orientalisme terutama terhadap sendi hukum kedua, Hadis. Karena mereka menganggap Ia keluar dari sosok Muhammad yang kontroversial dari berbagai aspek yang berbeda dengan Al-Qur’an. Benarkah anggapan mereka ? Melalui makalah ini penulis bermaksud mengupasnya.
B. Pembahasan
Pengertian Orientalis
Kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan dalam kamus ilmiah populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari Timur. Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain. Menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.
Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kata “isme” (Belanda) ataupun “ism” (Inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu paham. Jadi Orientalisme bermakna sesuatu paham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya.
Lawan kata “orient” di dalam bahasa Perancis ialah occident, yang secara harfiah bermakna “barat”, secara geografis bermakna dunia belahan barat dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa di barat. Sedangkan kata Occidental bermakna hal-hal yang berkaitan dengan dunia barat, yaitu bangsa-bangsa yang di situ beserta lingkungannya.
Berbeda dengan Orientalisme, maka kata Occidentalisme hampir tidak pernah disebut, karena bukan merupakan suatu keahlian khusus dalam lingkungan disiplin-disiplin ilmu.
Kelompok-kelompok orientalisme secara garis besar dibagi dalam dua bagian. Pertama, kelompok moderat dan mampu bersikap adil, dalam prinsip keilmuan penuh kejujuran (kelompok Islamisist) hingga sebagiannya mendapatkan hidayah Islam misalkan salah satunya Martin Van Bruinessen dari Belanda. Kelompok ini diwakili Reenan, Jenny Pierre, Carl Leil, Tolstoy, Lord Headly, Ethan Deneeh dan Dr. Greeneh. Kedua, kelompok ekstrim dan fanatik yang dikenal menyelewengkan kebenaran dan melakukan penyimpangan dalam memahami ajaran Islam serta tidak menggunakan metode ilmiah dalam penelitiannya (kelompok Orientalis / Misionaris / Kolonialis). Kelompok ini diwakili oleh A.J Arberry, Alfred Geom, Baron Carrad Vauk, H.A.R Gibb, Goldziher, S.M Zweimer, G. Von Grunbaum, Phillip K Hitti, A.J Wensink, L. Massignon, D.B Macdonald, D.S Margaliouth, R.L Nicholson, Henry Lammens, Josseph Schacht, Harfly Haol, Majid Kadury dan Aziz Atiah Surial.
Persepsi Orientalis Terhadap Hadist
Pembukuan hadist secara resmi baru dilakukan pada masa Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah Bani Umayyah ke-8), jauh setelah Nabi SAW wafat. Panjangnya rentang waktu ini, bagi orientalis merupakan peluang terlebar untuk mengkritik hadist. Perhatian orientalis terhadap peradaban timur terutama Islam amat besar. Perhatian itu tidak hanya berkaitan dengan kepentingan ilmu tetapi juga mempelajari kekuatan timur ketika mereka (barat) kalah dalam perang salib. Perhatian ilmiah mereka pertama pada Al-Qur’ān kemudian pada sumber Islam yang kedua; al-Hadist. Kesimpulan mereka umumnya menyatakan bahwa keabsahan al-Hadist diragukan sebagai sabda Rasul karena panjangnya rentang waktu pengkodifikasiannya.
Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadist, yaitu tentang perawi hadist, kepribadian Nabi Muhammad Saw, dan metode pengklasifikasian hadis. Secara umum di antara tuduhan-tuduhan orientalis yang meragukan otentisistas hadits adalah :
1. Hadits tidak ditulis pada masa Nabi SAW.
2. Sahabat Umar bin Khattab menarik pendapatnya soal kodifikasi hadits.
3. Para Shahabat tidak menghafal hadits.
4. Sulit membedakan hadits shahih dengan yang palsu, Karena terjadi begitu banyak pemalsuan hadits.
5. Hanya hadits mutawatir yang boleh dijadikan sumber hukum.
6. Meragukan kredibilitas para perawi dan ulama hadits.
7. Banyak hadits yang bertentangan dengan HAM.
Ditambah dengan upaya mereka meyakinkan umat Islam bahwa beragama cukup dengan berpedoman kepada al-Qur’an saja.
Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Klaim ini diamini oleh rekan satu misinya William Muir, orientalis asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad SAW dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam literatur hadits, nama Nabi Muhammad SAW sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan (the name of Mahomet was abused to support all possible lies and absurdities). Oleh sebab itu, katanya lebih lanjut, dari 4000 hadits yang dianggap shahih oleh Imam Bukhārī, paling tidak separuhnya harus ditolak. Tulisan Muir ini kemudian dijawab oleh Sayyid Ahmad Khan dalam esei-eseinya. Orientalis lain Montgomerywatt, menyatakan “Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya, pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil”.

Pandangan tokoh orientalis dalam mengkrikitk hadist
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M. Berbeda dengan A.J. Wensick dalam The Importance of Tradition for Studies of Islam, menegaskan bahwa yang pertama kali mengkaji otentisitas hadits adalah Snouck Hurgronjee. Ignaz Goldziher adalah satu-satunya orientalis yang sempat belajar secara resmi di Universitas al-Azhar, Mesir. Ia bukan saja aktif menghadiri ‘tallaqi’ dengan beberapa masyayikh di Al-Azhar, bahkan ia pernah ikut shalat Jumat di sebuah mesjid di Mesir. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel asli dalam bahasa Ibrani. Pendidikan S1-nya bermula pada usia 15 tahun di Universitas Budapest, Hungaria. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913),seorang pakar tentang Turki. Setelah menyelesaikan studinya di Budapest, Goldziher melanjutkan studinya di Universitas Leipzig, Jerman. Ia meraih gelar doktor dari universitas tersebut ketika berusia 19 tahun. Gelar itu diperolehnya setelah dibimbing selama dua tahun oleh Heinrich Fleisher, orientalis Jerman terkemuka.
Pada tahun 1890, Ignaz Goldziher mempublikasikan hasil penelitiannya tentang hadis dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi “kitab suci” di kalangan orientalis. Dibanding dengan Goldziher, hasil penelitian Schacht memiliki “keunggulan”, karena ia bisa sampai pada kesimpulan yang menyakinkan bahwa tidak ada satupun hadis yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas hadis. tidak aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh reputasi dan sambutan yang luar biasa. Hadits yang dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi Sahabat Rasul. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan : ”Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”.” Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang asli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hadis yang berasal dari Nabi SAW. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum terhimpun dalam satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.
Hadist menurutnya, tidak lebih kecuali hanya sebagai produk perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa sahabat dan tabi’in. Dengan kata lain, para sahabat dan tabi’in adalah dua generasi pembuat hadist yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi. Celakanya, hadist-hadist palsu itu dipakai pula oleh para penganut mazhab untuk membela dan melegitimasi pendapatnya masing-masing. Pendapat Goldziher ini tertuang dalam bukunya Dirasah Islamiyah, yang kemudian dijadikan “kitab suci” oleh para orientalis berikutnya, dimana para orientalis berkiblat padanya. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad SAW. Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi SAW. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha”.
Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam. Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi SAW, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh umat Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selama ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.
Pengaruh pemikiran Ignaz bukan saja di kalangan orientalis saja melainkan juga di kalangan pemikir muslim. Ahmad Amin misalnya, dalam bukunya “Fajrul Islam” juga terkecoh dan meragukan beberapa hadis akibat teorinya Ignaz tersebut. Begitu pula dengan Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya “Adhwa ‘Ala as Sunnah al Muhammadiyah” juga banyak mengikuti metode-metode kritik hadis versi Goldziher. Demikian juga Dr. Thoha Husein, Syaikh Muhammad al Ghazaliy, Fazlurrahman dan lain-lain meski dalam batas dan kualitas yang berbeda-beda. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921. Ignaz Goldziher melalui analisa dan pemikirannya telah melahirkan faham sesat dalam Islam yaitu Inkar Sunnah (inkar hadits), dan sekarang kaki tangan Goldziher sudah tersebar dimana-mana di dunia ini terutama sekali sarjana-sarjana Islam yang mengecap pendidikan di perguruan tinggi yang dikelola oleh jaringan zionis internasional. Di Mesir ada Ali Hasan Abdul Qadir, Dr. Thoha Husein, Dr. Ahmad Amin dan Abu Rayyah, di Amerika faham ini disebarkan oleh Dr. Rasyad Khalifah dan di Indonesia oleh Dr. Snouck Hourgrounje dan kaki tangannya seperti Habib Abdurrhman Az-Zahir, Sayid Osman bin Yahya dan Tengku Nurdin.
Disamping Goldziher, Orientalis yang berpengaruh lain adalah Joseph Schacht. Ia adalah orientalis Jerman yang lahir pada 15 Maret 1902 di Rottbur, Jerman. Pada tahun 1959 ia pindah ke New York, dan menjadi Guru Besar di Universitas Coloumbia hingga meninggal pada awal Agustus 1969. Walaupun Ia merupakan orientalis spesialis dalam bidang Fiqh, namun menurut penulis bidang ini tidak akan bisa lepas dari Hadist. Karena lebih dari setengah permasalahan yang ada dalam fiqh terdapat dalam Sunnah/Hadist Nabi. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford,1950). Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii. Pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu. Dia berkata, ”we shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic” (Kita tidak akan menemukan¬ satu buah pun hadits yang berasal dari Nabi¬ yang dapat dipertimbangkan kesahihannya). Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi SAW. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam enam poin :
1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal akhir abad pertama.
2. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’i untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5. Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini :
1. Teori Projecting Back
Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al Sya’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al Sya’bi. Hukum islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim.
2. Teori E Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya, jika satu hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya tidak menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis, tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
3. Teori Common Link
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya. Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.
Bantahan Terhadap Orientalis
1. Meruntuhkan Argumen Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal pertumbuhan Islam disanggah oleh beberapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh. Profesor Muhammad Hamidullah (Hyderabad - Paris), Fuat Sezgin (Frankfurt), Nabia Abbot (Chicago), dan Muhammad Mustafa Al-Azami (Cambridge - Riyadh), dalam karyanya masing-masing telah berhasil mengemukakan bahwa terdapat bukti-bukti konkrit yang menunjukkan pencatatan dan penulisan hadits sudah dimulai semenjak kurun pertama Hijriah sejak Nabi SAW masih hidup.
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan. Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah Abdul Malik bin Marwan (yang bermusuhan dengan Ibnu Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya Ibnu Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang Abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah. Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.
2. Meruntuhkan Argumen Josep Schacht
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat/asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadikan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis. Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail, jauh lebih ke belakang lagi dari pada Schacht yang ternyata dari hasil kajiannya menyatakan sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.
Temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf. Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidak konsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) saja yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada Rasulullah SAW. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul SAW sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
Menurut Profesor Muhammad Musthafā al-A‛zamī, kekeliruan dan kesesatan Schacht dalam karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford, 1950) itu disebabkan oleh lima perkara :
1. Sikapnya yang tidak konsisten dalam berteori dan menggunakan sumber rujukan.
2. Bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan metodologi yang tidak ilmiah.
3. Salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta.
4. Ketidaktahuannya akan kondisi politik dan geografis yang dikaji.
5. Salah faham mengenai istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama Islam.
Karena dipandu oleh niat buruk ini, maka kajiannya pun diwarnai oleh sikap pura-pura tidak tahu (wilful ignorance) dengan sengaja mengabaikan data yang tidak mendukung asumsi-asumsinya dan memanipulasi bukti-bukti yang ada demi membenarkan teori-teorinya (abuse of evidence). Hasilnya, kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya tidak cukup valid, karena “main pukul rata” secara gegabah (hasty generalizations) dan menduga-duga (conjectures) belaka.
Epilog
Sungguh nampak kebencian barat pada timur (Islam) sehingga metodologi ilmiah yang mereka bangun di dekonstruksi (dirusak) sendiri oleh sentimentil perbedaan ideologi dan agama. Walau demikian tergambar jelas bahwa sentimen orientalis dibantah oleh para ulama, cendekiawan muslim dengan argumen yang luas dan jelas. Dengan demikian islam semakin nampak kebenarannya karena pilar hukumnya terbukti teruji dari gerakan orientalisme.




DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna’. Pengantar studi Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Pustaka Al-Kausar, 2009. Jakarta Timur.
Al-Khotib, Ajaj. Assunnatu Qobla Tadwin,
Azizi, Qodri A. Hukum Nasional Ekletisme Hukum Islam dan Hukum barat, Teraju, 2004. Jakarta Selatan.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Internasional dari Timur Tengah hingga Australia,
Metodologi Studi Islam
Mudzhar, Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Pustaka Pelajar, 2004. Yogyakarta.
http://insists.multiply.com/journal/item/39/Orientalisme_dan_Al_Quran_Kritik_Wacana_Keislaman_Mutakhir. Diakses pada Selasa, 4-10-2011 jam 09.00.
http://www.mesjidui.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=80:attafakkur&catid=41:kajian-islam&Itemid=69, Diakses pada Selasa, 4-10-2011 jam 09.00
http://elmisbah.wordpress.com/persepsi-orientalis-terhadap-hadits/. Diakses pada Selasa, 4-10-2011 jam 09.00
http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=35:orientalis-menggugat-hadits-&catid=43:aliran-menyimpang&Itemid=103. Diakses pada Selasa, 4-10-2011 jam 09.00.
http://wildanhasan.blogspot.com/2009/01/metode-kritik-hadits-orientalis.html.
http://syiahali.wordpress.com/2011/07/02/kritik-orientalis-goldziher-dan-schacht-terhadap-hadis-sunni/
http://munfarida.blogspot.com/2010/05/kritik-orientalis-terhadap-hadits.html
http://agpaiaceh.blogspot.com/2011/01/atikel-kritik-orientalis-terhadap.html

soal SMK Muhammadiyah Jember


MID SEMESTER 1
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) MUHAMMADIYAH JEMBER
jl. PB Sudirman no. I/31, telp. (0331) 429737 Jember 68118

Kelas : X
Jurusan : Keperawatan dan Teknik Komputer Jaringan.
Mata Pelajaran : Bahasa Arab.
Guru Pembina : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.

1. tentukan mana isim, huruf dan fi’ilnya (jelaskan jenis fi’il apa dan huruf apa), lalu terjemahkan per kata dalam bahasa Indonesia dari kalimat Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 30 – 31. (boleh buka Alqur’an, terjemahan, kamus ataupun buku catatan).
OPEN BOOK
SELAMAT MENGERJAKAN.
MID SEMESTER 1
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) MUHAMMADIYAH JEMBER
jl. PB Sudirman no. I/31, telp. (0331) 429737 Jember 68118

Kelas : XI
Jurusan : Keperawatan dan Teknik Komputer Jaringan.
Mata Pelajaran : Bahasa Arab.
Guru Pembina : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.
OPEN BOOK

1. Buatlah 1 kalimat aktif dalam waktu lampau dalam bahasa Arab.
2. Buatlah 1 kalimat aktif dalam waktu sedang/sekarang dalam bahasa Arab.
3. Buatlah 1 kalimat pasif dalam waktu lampau dalam bahasa Arab.
4. Buatlah 1 kalimat pasif dalam waktu sedang/sekarang dalam bahasa Arab.
5. Buatlah 1 kalimat dalam jumlah fi’liyah lazim dalam bahasa Arab.
6. Buatlah 1 kalimat dalam jumlah fi’liyah Muta’addi dalam bahasa Arab.

SELAMAT MENGERJAKAN


MID SEMESTER 1
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) MUHAMMADIYAH JEMBER
jl. PB Sudirman no. I/31, telp. (0331) 429737 Jember 68118

Kelas : XII
Jurusan : Keperawatan dan Teknik Komputer Jaringan.
Mata Pelajaran : Bahasa Arab.
Guru Pembina : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.
OPEN BOOK

ترجم الى لُغَةِالْإِنْدُوْنِسِيَّا
1. هل أنت تستطيع أن تتكلم بلغة العربية مع إخوانك كل يوم فى مدرستك
2. النكاح معنها يساوى بالرفث وهي فى مكانة الجماع يعني تحليل الجماعة بين الرجل والمرأة بلفظ الصغاة الصريح
3. Jelaskan I’robnya pada masing-masing kata dari 2 kalimat bahasa Arab diatas, dengan cara menentukan mana isim, fi’il dan hurufnya lalu alasan I’robnya.
4. Susunlah kata-kata dibawah ini hingga membentuk kalimat sempurna.
A. في_الدكان_انا_الثلج_أشتري- المدرسة_من_قريب
B. بالجوالة_أذهب_صباحا_المدرسة_أستاذي_إلى_الإثنين_مع_يوم_في


SELAMAT MENGERJAKAN
Kelas : XI
Jurusan : Keperawatan.
Mata Pelajaran : Pemeriksaan Fisik.
Guru Pembina : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.

1. Jelaskan apa saja yang harus disiapkan (alat-alatnya) dalam perawatan vulva higeane.
2. Jelaskan langkah dan cara dalam dalam perawatan vulva higeane secara urut.
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan vaginal swab ?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kultur biakan ?
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan resisten ?
6. bagaimana metode dan langkah-langkah dalam menentukan diagnosa pada pasien.

SELAMAT MENGERJAKAN
Kelas : XI
Jurusan : Keperawatan.
Mata Pelajaran : Ilmu Penyakit Dasar.
Guru Pembina : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.

1. Apa nasehat anda sebagai seorang perawat terhadap pasien dengan diagnosa sifilis.
2. Jelaskan konsep penyakit sifilis, etiologi, gejala, cara penularannya dan prinsip pengobatannya.
3. Jelaskan konsep penyakit AIDS, etiologi, gejala, cara penularannya dan prinsip pengobatannya.
4. Apa yang dimaksud dengan teori fenomena gunung es dalam AIDS dan gambarkan ?
5. Apa yang dimaksud dengan ELISA, Carier, Acquired dan Congenital ?

SELAMAT MENGERJAKAN
Kelas : X
Jurusan : Keperawatan.
Mata Pelajaran : ANFIS.
Guru Pembina : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.

1. Apakah yang dimaksud dengan Daya akomodasi ?
2. Jelaskan fungsi dari pupil ?
3. Apakah yang disebut dengan tes Ishihara?
4. Jelaskan yang dimaksud dengan tes Snellen dan fungsinya ?
5. Jelaskan tentang strabismus dan kemungkinan penyebabnya ?
6. Apakah yang dimaksud dengan obstruksi dan kemungkinan faktor penyebabnya ?
7. Gambarkan dan Jelaskan anatomi dan fisiologi jantung manusia ?
8. Jelaskan sistem peredaran darah manusia (siklus nya dan jenis siklus nya)?
9. Jelaskan konsep anemia beserta mekanisme terjadinya serta penanganannya ?
10. Apakah yang dimaksud dengan Superior, Inferior, Perifer, Central, musculus dan nervus ?


SELAMAT MENGERJAKAN
Kelas : X
Jurusan : Keperawatan.
Mata Pelajaran : TUMBANG.
Guru Pembina : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.

1. Apakah yang dimaksud dengan pertumbuhan dan berikan contohnya ?
2. Apakah yang dimaksud dengan perkembangan dan berikan contohnya ?
3. Apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serta jelaskan ?
4. Kasus : Nn. S, 24 tahun, sudah haid, payudara kecil bahkan bisa dikata seakan tidak punya payudara, pubis juga tidak ada, sudah punya pacar dan berniat sebentar lagi menikah. Secara tinjauan TUMBANG, apakah dia sudah dewasa dan matang, apa yang terjadi padanya secara fisik ?
5. Kasus : Ny. M, 15 tahun, payudara kecil, pubis mulai tumbuh, haid tidak teratur, sedang ditinggal pergi suaminya dan sering bermain/bergaul dengan anak-anak usia 5-8 tahunan. Bagaiman menurut teori TUMBANG ? dalam kategori manakah dia, anak-anak, pubertas/remaja atau dewasa ?jelaskan alasan anda.

SELAMAT MENGERJAKAN
Kelas : X
Jurusan : Keperawatan.
Mata Pelajaran : Kebutuhan Dasar Manusia.
Guru Pembina : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.

1. Apa yang dimaksud kebutuhan dasar Manusia ?
2. Sebutkan dan jelaskan hirarkis kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow ?
3. Terkait kebutuhan O2, jelaskan apa yang dimaksud dengan konsep ABCD dalam tindakan gawat darurat ?
4. Jelaskan apa yang dimaksud intake dan output dan berikan contohnya secara riil ?
5. Kasus : Tn. P, 20 tahun, merasa sangat lapar dan haus, sangat merangsang dan ingin berhubungan seksual dengan istrinya, kepala terasa pusing dan kakinya sakit sekali karena fraktur akibat kecelakaan. Apa yang akan dilakukan oleh Tn. P pada istrinya dan pada dirinya sendiri ? bagaimana menurut analisa anda sebagai seorang perawat dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia ?

SELAMAT MENGERJAKAN
Kelas : XII
Jurusan : Keperawatan.
Mata Pelajaran : Akupuntur.
Guru Pembina : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.

1. Jelaskan yang dimaksud dengan TCM dan terapi-terapi yang masuk dalam klasifikasinya ?
2. Apakah yang dimaksud dengan Akupuntur, akupressur, copping dan ciqung ?
3. apa saja yang mendukung dalam menguasai model terapi akupuntur ?
4. Bagaimakah patofisiologi terapi akupuntur hingga bisa berdampak positif menyehatkan ?
5. sebutkan dan jelaskan jenis meredian secara garis besar beserta titik-titiknya ?

SELAMAT MENGERJAKAN
Kelas : XII
Jurusan : Keperawatan.
Mata Pelajaran : Pelayanan Kesehatan Utama.
Guru Pembina : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.

1. Apakah yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan yang prima dan utama ?
2. Jika akan mendirikan balai kesehatan atau sebuah klinik, apa saja yang diperlu diperhatikan akan klinik tersebut tetap hidup dan berkembang ?
3. Beradasarkan pengalaman praktek anda, teknik dan cara pendekatan apa saja yang dilakukan oleh klinik tempat anda praktek untuk menarik pasien ?
4. Point apa saja yang harus ada dalam penetapan rencana keperawatan dan jelaskan ?
5. bagaimanakah skema pembuatan POA dalam penyuluhan kesehatan dan jelaskan evaluasi untuk menentukan PENKES efektif dan berhasil tidaknya dalam ukuran penilaian anda ?

SELAMAT MENGERJAKAN

Mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari.

AMANDEMEN AL-QUR'AN

PENUGASAN TERSTRUKTUR


Mata Kuliah : Studi Al-Qur’an.
Dosen pembina : Dr. H Aminullah El Hady; M.Ag.
Sub Tema : Nasakh dan Manuskh Ayat-Ayat Al-Qur’an.
Disusun Oleh : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.
Email : idris_mahmudi@yahoo.co.id



PASCA SARJANA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

TAHUN 2011 / 2012


Prolog
Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa keberadaan al-Quran bukan hanya sebagai kitab keagamaan, sejarah atau budaya saja, selain sebagai mukjizat Islam ia juga memiliki kedudukan primer, sakaligus sentral bagi inspirator tasyri' samawi dalam menata kehidupan, pemikiran dan kebudayaan umat islam tentunya, mukjizatnya selalu di perkuat oleh modernisasi, semakin maju ilmu pengetahuan, maka akan semakin tampak pula validitas kemu'jizatannya. Al-Quran juga sebagai syari'at samawi yang diturunkan pada rasul-Nya untuk memperbaiki umat dibidang akidah, ibadah dan muamalah.
Terkait hukum Tasyri’ inilah muncul kontroversi. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri' pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri' pada periode yang lain. Tetapi tidak di ragukan lagi bahwa pembuat syariat (Musyarri'), yaitu Allah, rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang hanya milik-Nya.
Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri' dengan tasyri' lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.
Definisi
Secara Lughowi Nasakh berarti Penghapusan, Pengalihan, dan pemindahan. (As-Suyuthi, 2007 : 85). Kata an-naskhu ( النسخ) berasal dari naskhul-kitaab ( نسخ الكتاب ), yaitu menukil dari suatu naskah ke naskah lainnya ( وهو نقله من نسخة إلى أخرى غيرها ). Demikian halnya naskhul-hukmi ( نسخ الحكم ), berarti penukilan dan pemindahan redaksi ke redaksi yang lain, baik yang dinasakh itu hukum mapun tulisannya, karena keduanya tetap saja berkedudukan mansukh (dinasakh).
Sedangkan menurut istilah, nasakh adalah “pengangkatan yang dilakukan oleh Penetap Syari’at terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian”. Sedang mansukh adalah yang dihapus, secara istilah bacaaan atau ayat Al-Qur’an atau suatu hukum terdahulu yang dihapus. Di dalam Al-Quran, kata nasakh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS 2:106, 7:154, 22:52, dan 45:29.
Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti nasakh sehingga mencakup:
(a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian (menasakh-mansukh);
(b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian (men-takhsish);
(c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar (Al-Munsa' / penundaan);
(d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.(As-Suyuthi, 2007 : 88).
Tentang adanya ayat Al-Qur’an atau hukum syaria’at dari Al-Qur’an yang Nasakh dan Mansukh terjadi kontroversial. Ada yang berpendapat terjadi Nasakh dan Mansukh, juga ada yang berpendapat tidak ada Nasakh-Mansukh. Misalnya, Seorang mufassir, Abu Muslim Al-Asbahani mengatakan : “Tidak ada nasakh dalam Al-Qur’an”. Pendapat Abu Muslim itu sangat lemah dan patut ditolak. Penulis sendiri dalam makalah ini secara Dzonni berkeyakinan Nasakh-Mansukh dalam ayat dan hukum Al-Qur’an itu memang ada sebagaimana Nasakh-Mansukh dalam Hadis Nabi SAW.
Pembahasan
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنّ اللّهَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-Baqaraha : 106).
Mengenai firman Allah { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ} “Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما , ia mengatakan : Artinya : ما نبدل من آية = “yang Kami (Allah) gantikan”.
Masih mengenai ayat yang sama, dari Mujahid, Ibnu Juraij meriwayatkan { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ} ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, maksudnya adalah ما نمحو من آية = “ayat mana saja yang Kami (Allah) hapuskan”.
Ibnu Abi Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, bahwa ia menuturkan : { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ} ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, artinya : نثبت خطها ونبدل حكمها = “Kami (Allah) biarkan tulisannya, tetapi Kami ubah hukumnya”. Hal itu diriwayatkan dari beberapa shahabat Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه.
Mengenai bacaan au nunsihaa { أو ننسها}, ‘Abdur-razzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah mengenai firman-Nya : { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا}, ia mengatakan :
كان الله عز وجل: ينسي نبيه صلى الله عليه وسلم ما يشاء, وينسخ ما يشاء
“Allah subhanaahu wata’ala menjadikan Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam lupa dan menasakh ayat sesuai dengan kehendak-Nya”.

Salah satu ayat yang dinasakh atau mungkin Allah sengaja menjadikan lupa pada nabi Muhammad serta para sahabat adalah :
الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة
“Orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya”.

Juga firman-Nya :
لو كان لابن آدم واديان من ذهب لابتغى لهما ثالثا
”Seandainya Ibnu Adam mempunyai dua lembah emas, niscaya mereka akan mencari lembah yang ketiga”.

Dalam masalah nasakh, para ulama terbagi atas empat golongan :
1. Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya nasakh, karena menurutnya nasakh mengandung konsep al-badâ', yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas).
2. Orang Syiah Râfidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan nasakh dan meluaskannya, dengan memandang konsep al-badâ' sebagai sesuatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a. secara dusta dan palsu. Dan juga dengan firman Allah:يمح الله ما يشاء ويثبت (الرعد : 39 "Allah menghapuskan apa yang Ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki)". (al-Ra'd:13) , oleh mereka diartikan “Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan”.
3. Abu Muslim al-Asfihani. Menurutnya, secara logika nasakh memang dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara'. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi nasakh dalam Quran untuk menghindari distorsi pemahaman mengenai kemurnian al-Quran, maka makna nasikh perlu ditinjau ulang. Dia memberikan definisi, bahwa nasikh-mansukh tiada lain hanyalah persoalan “am dan khas”, atau bisa diartikan sebagai proses meng ”update” pemaknanaan, sehinga sebenarnya tidak ada yang hilang komponennya, yang ada hanyalah peningkatan (upgrade) atau kualitas makna.
4. Jumhur ulama. Mereka berpendapat, nasakh adalah sesuatu hal yang dapat diterima akal dan juga terjadi dalam hukum-hukum syara', berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Pemaparan singkat diatas menunjukkan bahwa masalah kontradiksi nasakh-mansukh belum juga terselesaikan.
Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian nasakh dengan “pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain” (lihat pengertian etimologis kata nasakh). Dalam arti bahwa kesemua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi (Ta’arudl), yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
Nasakh terbagi atas empat bagian :
Pertama, nasakh Quran dengan Quran, bagian ini di sepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh, seperti ayat yang menjelaskan tentang iddah empat bulan sepuluh hari.
Kedua, nasakh Quran dengan Sunnah, dan nasakh ini juga terbagi atas dua macam :
1. Nasakh Quran dengan hadis âhâd. Ulama jumhur berpendapat, Quran tidak boleh di nasakh oleh hadist ahad, sebab Quran adalah mutawâtir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad zannî bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma'lum (jelas di ketahui) dengan yang maznûn (di duga).
2. Nasakh Quran dengan hadis mutawatir. Nasakh demikian di bolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.
Ketiga, nasakh Sunnah dengan Quran, seperti yang di sepakati oleh jumhur ulama. Sebagai contoh yaitu tentang masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang di tetapkan dengan sunnah, seruan puasa pada hari 'Asyura, yang keduanya ini di tetapkan berdasarkan sunnah dan dinasakh oleh Quran.
Keempat, nasakh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
(a) nasakh mutawatir dengan mutawatir;
(b) nasakh âhâd dengan âhâd;
(c) nasakh âhâd dengan mutawatir;
(d) nasakh mutawatir dengan âhâd.
Tiga bentuk pertama di bolehkan, sedangkan pada bentuk ke empat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh Quran dengan hadits ahad yang tidak di perbolehkan oleh jumhur ulama.
Dari sisi lain, sebagian ulama membagi nasakh menjadi tiga bagian:
a. Nasakh tentang seruan sebelum terlaksanakan, dan bagian ini termasuk arti sebenanrnya tentang nasakh, seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. menyembelih anaknya. Dan juga seperti firman Allah:
اذا ناجيتم الرسول فقدموابين يدي نجواكم صدقة.(المجادلة : 12)
kemudian di nasakh dengan ayat: أأشفقتم ان تقدموابين يدي نجواكم صدقات. (المجادلة : 13 )
b. Nasakh tajawwuz, "syariat yang telah di wajibkan pada umat terdahulu", seperti kewajiban qishas, dan diyat, begitu juga seruan pada perkara yang bersifat umum, yang kemudian di nasakh, seperti nasakh perintah menghadap Baitil Maqdis dengan perintah menghadap Ka'bah, dan seperti nasakh puasa 'Asyura dengan puasa Ramadhan.
c. Seruan karena ada sebab yang kemudian sebab itu hilang. Seperti perintah sabar dan berpaling dari peperangan, yang kemudian di nasakh dengan seruan perang.(As-Suyuthi, 2007 : 87-88).
Nasakh dalam al-Quran ada tiga macam:
Pertama, nasakh tilâwah dan hukum. Maka karena itu tidak boleh membaca dan mengamalkannya, karena telah dinaskh secara keseluruhan, seperti ayat penyebab
muhrim dengan sepuluh susuan.
Kedua, nasakh tilawah, sedang hukumnya tetap. Untuk kedua macam nasakh ini keberadaannya sangat sedikit, karena Allah menurunkan al-Quran agar manusia mendapat pahala dengan membacanya dan hukum-hukumnya.
Ketiga, nasakh hukum, sedang bacaannya masih.
Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat dikalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya nasakh dalam al-Quran. (As-Suyuthi, 2007 : 89-90).
Hikmah Nasakh-Mansukh
1. Memelihara kepentingan hamba.
2. Perkembangan tasyri' menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya nasakh dengan menyatakan bahwa: "Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.
Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.
Ada dua butir yang harus digaris bawahi dari pernyataan Al-Maraghi di atas. Pertama, mempersamakan nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai obat memberikan kesan bahwa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Kedua, mempersamakan hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya obat-obat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin masih ada pasien lain yang membutuhkannya.
Epilog
Nasikh adalah perbuatan Allah yang Maha Bijaksana lagi Mengetahui, Dia memerintahkan dan melarang hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya, tidak berarti Dia sewenang-wenang dan menganiaya, akan tetapi semua hukum dan perbuatan-Nya penuh dengan hikmah dan pengetahuan, terkadang dapat dideteksi oleh rasio dan kadang pula tersembunyi di balik tirai alam ghaib untuk menguji loyalitas seorang hamba. Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat me-nasakh al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi Muhammad saw).

DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi, Jalaludin. Al-Itqon Fi Ulumil Qur’an, PT Bina Ilmu, 2007. Surabaya.
Ma’rifat, Hadi. Sejarah Al-Qur’an, Al-Huda, 2007. Jakarta.
Mahmud, Mani’ Abdul halim. Metodologi Tafsir-Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, PT Raja Grafindo Persada, 2006. Jakarta.
Quthan, Mana’ul. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, PT Rineka Cipta, 1998. Jakarta.
http://fas-mesir.blogspot.com/2009/03/dinamika-otentitas-nasikh-mansukh-dalam.html
http://www.uinsuska.info/ushuluddin/attachments/074_1.%20SEJARAH%20PERKEMBANGAN%20TAFSIR%20TEMATIK.pdf
http://rumahislam.com/adab-syariah/syari/49-panduan-hukum-islam/383-pengertian-nasikh-dan-mansukh.html
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/NasikhMansukh2.html

ARTIKEL ILMU QUR'AN

PENUGASAN TERSTRUKTUR


Mata Kuliah : Pendekatan Dalam pengkajian Pendidikan Islam
Dosen pembina : Dr. Syamsun Ni’am; M.Ag.
Sub Tema : Materi Pendidikan Islam Dalam Perspektif Al-Qur’an dan hadis.
Disusun Oleh : Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I.
Email : idris_mahmudi@yahoo.co.id



PASCA SARJANA
JURUSAN : PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI : PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
TAHUN 2011 / 2012
A. Pendahuluan.
Pendidikan islam sangatlah mulia dan memanusiakan manusia. Hal ini karena pendidikan islam disandarkan dengan kata islam yang dikenal dengan suatu agama yang damai, sejahtera dan menyelamatkan. Islam dalam teorinya dikatakan sebagai agama yang tinggi dan umatnya dalam hadis dikatakan sebagai umat unggulan, bahkan dalam Q.S. Ali Imron : 110, disebut sebagai umat terbaik. Namun mengapa islam, kualitas dan out-put pendidikan islam serta realitas umat islam terpuruk ? jauh tertinggal dengan umat lain yang non-islam (Arsalan, 1990), bahkan dengan komunitas atheis pun umat islam dan pendidikan islam tertinggal. Fakta yang lebih parah, di sekolah-sekolah/institusi formal, Pelajaran agama dan juga guru agama dianggap sebagai tambahan. Ilmu agama oleh sementara orang diberikan hanya karena melaksanakan peraturan, undang-undang, atau kewajiban. Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits belum dianggap sebagai sesuatu yang bersifat pokok, inti, amat penting dan karena itu harus dipelajari. Belum ada anggapan bahwa tanpa mempelajari al-Qur’an dan hadits maka seseorang tidak akan mendapatkan kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat. Islam hanya dipandang sebagai sesuatu ajaran untuk akhirat. Padahal sebenarnya tidak begitu. Islam adalah ajaran untuk kepentingan akhirat dan sekaligus di dunia ini.
Selain itu, juga banyak dikeluhkan bahwa pendidikan Islam baru dipahami sebatas sebagai bekal untuk meraih keuntungan di akhirat. Belum lagi masih terjadi dikotomik antara ilmu umum dan juga ilmu agama. Belajar agama dipahami sebagai bekal untuk mendapatkan keutungan akhirat, sedangkan belajar ilmu umum dijadikan bekal untuk meraih keuntungan duniawi. Cara pandang seperti ini, masih memerlukan koreksi yang mendasar. Seolah-olah urusan akhirat dibedakan dari urusan duniawi. Padahal bukankah sebenarnya, urusan dunia tidak bisa dipisah dari urusan akhirat. Menurut ajaran yang terkandung baik dalam al-Qur’an dan hadits nabi, kedua-duanya harus diraih secara bersamaan, yaitu dengan cara memadukan agama dan sains/ilmu pengetahuan.
Kerugian lainnya dengan cara pandang seperti di muka menjadikan umat Islam di mana-mana tertinggal dari umat lainnya, baik terkait dengan ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, sosial, bahkan juga teknologi dari umat lainnya. Negara-negara Islam pada umumnya keadaannya tertinggal dari negara yang mayoritas penduduknya non muslim. Seolah-olah umat Islam hanya sibuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Padahal bukankah sebenarnya, Islam mengajarkan agar umatnya meraih dua keuntungan sekaligus, yaitu keutungan duniawi dan juga ukhrowi.(lihat Q.S. Al-Qoshosh : 77).
Sebagai akibat dari cara pandang tentang Islam seperti itu pula, maka komunitas Islam belum meraih keunggulan, hingga berhasil menunaikan misinya, yaitu sebagai khalifah. Alih-alih menjadi khalifah, sebatas berhasil mengejar ketertinggalan dari sebagian umat lain saja, sudah mengalami kesulitan. Sehingga apa yang dikatakan bahwa Islam itu unggul, ternyata pada kenyataannya masih jauh panggang dari api. Umat Islam masih menjadi bulan-bulanan bagi umat lainnya. Secara ekonomi, sosial, politik, dan apalagi ilmu pengetahuan dan teknologi, umat Islam belum menjadi pemimpin, dan bahkan sebatas mengikuti di belakang saja seringkali masih tertinggal jauh.
Kemajuan umat Islam dalam sejarahnya diraih tatkala tidak mendikotomikan ilmu pengetahuan. Pengetahuan agama dan umum dilihat sebagai satu kesatuan. Al-Qur’an sendiri mengajarkannya demikian. Islam tidak cukup didekati dari perspektif syari’ah, ushuluddin, dakwah, adab dan tarbiyah. Maka ilmu tersebut harus disempurnakan dengan ilmu alam, sosial, dan humaniora. Demikian pula, pelajaran agama Islam tidak mencukupi jika hanya diperkenalkan melalui pelajaran tauhid, fiqh, akhlak, dan sejarah. Jelas bahwa Islam tidak sebatas menyangkut agama, atau ajaran ritual, tetapi juga peradaban secara luas. Islam dalam sejarahnya pernah meraih peradaban unggul, yaitu zaman Bani Abasiyah di Baghdad dan Bani Ummayah di Andalusia (Spanyol), tatkala Islam dilihat secara utuh.
B. Pembahasan.
Makna Pendidikan Islam.
Beberapa pakar pendidikan Islam memberikan rumusan pendidikan Islam, diantaranya Yusuf Qardhawi, mengatakan pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan aman maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.
Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan Islam adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.
Sedangkan Endang Syaifuddin Anshari memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.
Materi Pendidikan Islam Berdasar Al-Qur’an dan Hadis.
Dalam konteks pendidikan islam yang universal selain ilmu yang terkait dengan ketauhidan dan peribadatan, ada jenis ilmu yang seharusnya dikaji oleh umat Islam yaitu, ilmu-ilmu tentang jagad raya ini yang bisa diobservasi, yaitu ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora. Ilmu-ilmu alam terdiri atas fisika, biologi, kimia dan matematika. Ilmu sosial meliputi ilmu sosiologi, psikologi, sejarah dan antropologi. Sedangkan humaniora adalah filsafat, bahasa dan satra dan seni.
Filosof-filosof Islam sepakat bahwa pendidikan akhlaq adalah jiwa dari materi pendidikan islam. Sebab tujuan pertama dan termulia pendidikan islam adalah menghaluskan akhlaq dan mendidik jiwa. (Langgulung, 2008 : 113). Materi pendidikan harus mengacu kepada tujuan, bukan sebaliknya tujuan mengarah pada suatu materi, oleh karenanya materi pendidikan tidak boleh berdiri sendiri terlepas dari kontrol tujuannya.(Abdullah, 2007 : 159).
Klasifikasi materi pendidikan islam adalah :
1. Pengajaran tradisional (materi pengajaran agama).
2. Bidang ilmu pengetahuan, yang meliputi Sosiologi, Psikologi, sejarah dan lain-lain. Dalam pandangan Al-Faruqi disebut “Ummatic Sciences” atau terminology Qur’an disebut “Al-Ulumul Insaniyyah”.
3. Sub bidang ilmu pengetahuan alam, dikenal dengan “Al-Ulumul Kauniyyah” yang meliputi astronomi, biologi, botani dan lain-lain. (Abdullah, 2007 : 161-162).
Mereka semua ( Al-Kindi, Al-Farobi, Ibnu sina, Al-Ghozali, Nashirudin al-Thusi, Mulla Sadra) sepakat membagi ilmu-ilmu filosofis ke dalam ilmu-ilmu teoritis (nadzoriyyat) dan ilmu-ilmu praktis (amaliyyat). Kemudian ilmu-ilmu teoritis dibagi lagi ke dalam kelompok besar : ilmu metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu alam. (Ma’arif, 2007 : 25). Penggolongan dalam 2 kelompok materi ilmu oleh para filosof muslim diatas sebenarnya mengadopsi dari filosof sebelumnya yaitu Aristoteles, sehingga klasifikasi materi pendidikan islam itu bermadzhab Aristotelian, tentunya sesudah islamisasi science sesuai dengan kaidah syariah dan kultur masyarakat muslim saat itu. Al-Farobi misalnya, membuat perubahan sedikit, sedang Ibnu Sina lebih banyak. Al-Ghozali bukan hanya mengadakan perubahan, tapi membentuk pengelompokan yang sama sekali lain dari klasifikasi Aristoteles, terutama klasifikasi yang dibuatnya setelah mengalami krisis dan memilih jalan tasawuf. (Langgulung, 2008 : 347).
Secara umum, sistematika dan materi dalam kurikulum pendidikan islam harus meliputi ilmu-ilmu bahasa dan agama, ilmu-ilmu kealaman (natural) serta derivatnya yang membantu ilmu pokoknya seperti : sejarah, geografi, sastera, syair, nahwu, balaghoh, filsafat dan logika. Materi / mata pelajaran untuk tingkat rendah adalah Al-qur’an dan agama, membaca, menulis dan syair. Dalam beberapa kasus lain ditambahkan nahwu, cerita dan berenang (unsur materi jasmaniah), namun titik tekannya pada membaca Al-Qur’an dan mengajarkan prinsip-prinsip pokok agama. Khusus materi tingkat dasar bagi peserta didik dari anak para amir / penguasa agak berbeda sedikit, yaitu ditegaskan pentingnya pengajran khitobah, ilmu sejarah, cerita epic (perang), cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti Al-qur’an, syair dan fiqih. (Langgulung, 2008 : 114).
Universalitas materi/kontent pendidikan islam tergambar jelas pada Firman Allah yang pertama kali turun (Q.S. Al-Alaq : 1-5) :
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. ...”
Pertanyaannya adalah membaca apa dan apa yang perlu dibaca ?
Hadis nabi yang mashur juga menyatakan :
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim baik pria maupun wanita”.
Pertanyaannya adalah ilmu apa yang perlu dicari ? tentunya keumuman ayat dan hadis diatas menunjukkan bahwa semuanya harus dibaca dan semua ilmu harus dicari serta dikuasai. Inilah sebenarnya area, materi dan kontent dalam pendidikan islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis. Tidak ada dikotomi ilmu dalam pendidikan islam, semisal ilmu umum dengan ilmu agama, ilmu dunia maupun ilmu akhirat. Lebih jauh lagi terkait dengan ilmu dan agama, sungguh luar biasa ungkapan Einstein seorang fisikawan modern yang secara normatif non-islam tapi dengan lantang berkata : ”Religion without science is lame, but science without religion is blind” (agama tanpa ilmu adalah pincang, tapi ilmu tanpa agama adalah buta). (Ma’arif, 2007 : 33). Dari sini, penulis merasa kurang sepakat dengan pembagian materi pendidkan islam dalam kitab Ta’limul Muta’alim yang sangat familier di kalangan pesatren tradisional yang kutipannya :
“Ilmu hakikatnya hanya ada 2, ilmu fiqih untuk kesempurnaan agama dan ilmu kedokteran untuk kesehatan jasmani/badan. Selain keduanya hanyalah hampa dan dinilai sebagai omong kosong belaka”.(Az-Zarmuji : 9).
Tanpa mengurangi rasa takdzim pada penulis kitab tersebut, namun menurut hemat penulis materi pendidikan islam sangatlah luas dan universal. Hal ini juga nampak jelas dalam Q.S. Al-Haqqoh : 38-39 :
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan terhadap apa yang kamu tidak melihatnya”.
Dari ayat diatas objek pendidikan islam lebih luas lagi jangkauannya. Bukan hanya yang materi tapi juga yang immateri, mencakup wilayah fisik maupun metafisik.
Semua jenis ilmu itu mestinya dipelajari oleh umat Islam dalam arah baru pendidikan islam secara mendalam sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Ilmu tersebut dipelajari untuk mengantarkannya pada ketauhidan dan kesempurnaan ibadah. Setelah mempelajari fisika, biologi, psikologi, sejarah dan lain-lain, seseorang akan mengakui dan menyebut atas kebesaran dan ke-Maha Suci-an Allah swt., dengan bertasbih, bertahmid dan bertahlil. (lihat Q.S. Ali Imron : 190-191).
Dalam konsep Islam ilmu pengetahuan hanya satu, yaitu semuanya sama dari Allah dan menuju ke Allah. Untuk kepentingan pendidikan, pengetahuan yang menyatu itu harus diklasifikasikan. Klasifikasi pengetahuan itu ialah pengetahuan yang diwahyukan (Naqli / bersifat agamis) dan pengetahuan yang diperoleh (Aqliyyun / ilmu keduniaan umum). Sedangkan klasifikasi yang ditawarkan oleh konfrensi pendidikan di King Abdul Aziz adalah Perrenial Knowledge dan Acquired Knowledge. Sebagaimana kutipan berikut :
“Planning of education to be bassed on the classification of knowledge into two categories : a. “Perennial” knowledge derived from the Qur’an and Sunnah meaning all shari’ah oriented knowledge relevant and releted to them, and b. “Acquired” knowledge susceptible to quantitative growth and multiaplication, limited variations and cross cultural borrowing as long as consistency with shari’ah as the sources of values is maintened”.
Secara lengkap pengklasifikasian hasil konfrensi itu ialah:
Kelompok I.
1. Al-Qur’an : meliputi qiraah, hafalan, tafsir, sunnah, shirah (nabi, sahabat dan tabi’in) tauhid, ushul fiqh dan bahasa al-Qur’an.
2. Pengetahuan pembantu : meliputi metafisika Islam, perbandiangan agama dan kebudayaan Islam.
Kelompok II:
1. Pengantar imajinatif : meliputi arsitektur Islam dan bahasa-bahasa.
2. Pengetahuan intelektual : meliputi pengetahuan sosial yang mencakup kesusastraan, filsafat politik, pendidikan, ekonomi, geogarafi, sosiologi, linguistik, psikologi dan antropologi.
3. Pengetahuan terapan (Applied sciences) : meliputi rekayasa dan teknologi, kedokteran, pertanian dan kehutanan.
4. Pengetahuan praktis : meliputi perdagangan, administrasi, perpustakaan dan komunikasi.
Hasil rekomendasi Konferensi pendidikan islam sedunia di Jeddah pada 31 Maret – 8 April 1977 diatas juga telah merumuskan konsep umum dan menyeluruh tentang pendidikan islam dengan mengintegrasikan nilai-nilai dan ideologi islam ke dalam teori-teori ilmu sosial, kemanusiaan, filsafat, sosiologi dan kebijaksanaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi rekomendasi konferensi itu sampai saat ini belum terlaksana. (Ma’arif, 2007 : 47).
Dikotomi Pendidikan Islam
Seminar pendidikan islam Internasional di Nigeria tahun 1977 telah menolak adanya sekularisasi dalam pendidikan islam. (Abdullah, 2007 : 165). Tentang dikotomisasi pendidikan, Sayyed Hossein Nasr (1976 : 13) juga menyatakan, “dalam Islam tidak dikenal pemisahan esensial antara ilmu agama dengan ilmu profane”. (Ma’arif, 2007 : 25).
Diantara faktor keruntuhan peradaban islam (The golden age of islam) adalah adanya dikotomisasi terhadap ilmu pengetahuan, artinya di kalangan umat islam terjadi pembedaan yang sangat tajam antara sains-sains agama (Ulumul Syari’ah) atau sains-sains tradisional (Ulumun Naqliyyah) dan sains-sains rasional atau sekuler (Ulumul Aqliyyah atau ghoirul syari’ah). Meminjam istilah Abdurrahman Mas’ud dalam pengantarnya untuk karya Syamsul Ma’arif dikotomi itu adalah Islamic knowledge dan non-islamic knowledge.(Ma’arif, 2007 : 27&viii). Ibnu Kholdun juga membagi materi ilmu dalam 2 kelompok, yaitu ilmu naqli (wahyu) dan ilmu aqli (akal) yang masing-masing dibagi pada beberapa cabang ilmu pengetahuan. (Langgulung, 2008 : 347). Singkatnya, meminjam bahasanya Amin Abdullah (2003 : 3), “ilmu tidak mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu”. (Ma’arif, 2007 : 14). Abdurrahman Mas’ud (1999 : 9) dalam salah satu penelitiannya menunjukkan, bahwa cara pandang yang dikotomik tersebut pada akhirnya telah membawa kemunduran dalam dunia pendidikan islam. (Ma’arif, 2007 : 15). Dari situ pula kemudian muncul pembagian hukum ilmu, dimana fardlu ain untuk ilmu agama dan fardlu kifayah untuk ilmu umum. (Ma’arif, 2007 : 13). Pembagian hukum dan macam materi pendidikan / ilmu ini juga bisa dilihat dalam karya Hasan Langgulung. (Langgulung, 2008 : 113). Oleh karena itu Ali Asyrof dalam bukunya New horizon of Islamic education menyatakan, pendidikan jangan berbicara soal agama melulu, tapi juga membahas soal bagaimana kehidupan di dunia ini serta interaksi antar manusia. (Ma’arif, 2007 : 8). Dalam kata sederhana materi pendidikan islam komprehensif dan integralistik.
Abdurrahman Mas’ud dalam pengantarnya untuk karya Syamsul Ma’arif menyatakan, Dalam rangka revitalisasi pendidikan islam, kiblat umat islam bukanlah barat, tapi pendidikan islam harus disandarkan kepada telaah filosofis antropologis, yang menjadikan Al-qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas sebagai dasarnya. (Ma’arif, 2007 : X).
Kedua jenis pengetahuan di atas pada dasaranya harus diintegrasikan sebab dalam Islam ilmu teori umum harus dipandang dari kaca mata Islam. Caranya, menurut Ahmad Tafsir, semua pengetahuan jenis kedua (yang diperoleh) harus diajarkan dengan menggunakan perspektif Islam. Itulah cara mengintegrasikan pengetahuan.
Studi Kasus Implementasi Pendidikan Islam di PT.
Pertama :
UIN Maliki Malang mewajibkan seluruh mahasiswanya pada tahun pertama mengikuti program ma’had Aly, dan sebagian juga tahun ke dua, bagi yang memerlukan. Selain itu, seluruh mahasiswa apapun jurusan yang diambil diwajibkan untuk belajar Bahasa Arab, selain Bahasa Inggris. Bahasa Arab diperlukan sebagai alat untuk memahami al-Qur’an dan Hadits Nabi secara mandiri. Kitab suci al-Qur’an dan hadits nabi, di UIN Maliki Malang diposisikan sebagai sumber ilmu, yakni sebagai ayat-ayat qauliyah untuk mendapatkan kebenaran. Selain itu, sivitas akademika dalam mengembangkan pengetahuan juga menggunakan ayat-ayat kauniyah, yakni hasil observasi eksperimentasi dan penalaran logis.
Kedua :
Materi misi Al-Islam (pendidikan agama islam) di semua fakultas UNMUH seluruh Indonesia dibuat berjenjang dan diwajibkan ke semua fakultas dalam 3 semester yaitu Al-islam 1, Al-islam 2 dan al-Islam 3 (pengkajian pendidikan islam sesuai jurusan/pendidikan islam interdisiplinary).
Dari 2 contoh implementasi diatas akan mengembalikan universalitas pendidikan islam dan lambat laun akan menghilangkan stigma dikotomi pendidikan.
C. Penutup.
Pendidikan islam harus merujuk pada semangat Al-Qur’an dan Hadis kembali (Arruju’ ilal qur’an was sunnah). Dengan begitu akan terlihat bahwa tidak ada dikotomi maupun sekularisasi lagi antara ilmu umum maupun ilmu agama. Materi dan kurikulum pendidikan islam sesuai konsep islam (Al-Qur’an dan Hadis) adalah integral dan komprehensif.









DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, PT Rineka Cipta, 2007. Jakarta.
Az-zarmuji, Burhanudin. Syarah kitab Ta’limul Muta’alim.
Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam, Pustaka Al-Husna Baru, 2008. Jakarta.
Ma’arif, Syamsul. Revitalisasi Pendidikan Islam, Graha Ilmu, 2007. Yogyakarta.
Hand out dalam ceramah di UNMUH Purworejo Jawa Tengah pada Kamis 23 September 2010, diakses pada Jumat, 16 September 2011, 14.00.
Makalah Hujair AH. Sanaky, diakses pada Juni 2011.
Makalah Idris Mahmudi dalam partisipasi ACIS 2011 ke-11 di Bangka Belitung.
Terjemahan Syamilul Qur’an, Sygma Publishing, 2010. bandung.
http://zaldym.wordpress.com/2009/07/04/pemikiran-dan-perumusan-kurikulum-dan-materi-pendidikan-islam/
http://mghazakusairi.wordpress.com/2011/05/23/pendidikan-dalam-al-quran-hadits/