curhat

RENUNGAN DIRI



IKHLAS ITU MENYEHATKAN
Oleh :










Idris Mahmudi, Amd.Kep.S.Pd.I.*
Email : idris_mahmudi@yahoo.co.id
Blog : www.tata-h5idris.blogspot.com
HP : 081336385486

Saat 2004 penulis berkesempatan praktek klinik di RS Jiwa Menur Surabaya. Hari pertama mendapat pengalaman menarik, seorang pria sebutlah Sdr. W mengamuk dan mengomel dengan tangan diborgol di depan IGD RS Jiwa. Maklum dia pasien yang baru datang dengan kondisi yang masih akut. Diagnosa medis menyatakan dia mengalami Scizofrenia akut. 3 hari kemudian setelah agak reda amuknya, penulis berkesempatan menggali data langsung padanya. Ternyata dia berusia 24 tahun, anaknya orang kaya, bergelar S.E dan punya group band. Berdasar pengakuannya, sebelumnya dia dijanjikan akan tampil syoting, lagu dan groupnya akan direalise jadi album yang nantinya terkenal, hanya harus membayar 30 juta sebagai biaya produksi rekaman pihak studio. Akhir kata, ternyata Sdr. W ditipu, 30 juta dibawa lari dan ia tidak jadi rekaman. Kenyataan itu membuatnya tidak terima dan stres berat. Pihak keluarga ternyata membenarkan bahwa hal itulah yang secara mendadak menjadi pemicu stres Sdr. W setelah penulis cross cek hingga mengantarkannya opname di RS Jiwa.
Mengapa Sdr. W sakit jiwa ? Ternyata ketidak terimaannya ditipu dan digasaknya 30 juta miliknya membuatnya sakit jiwa. Seandainya saja dia menerima kenyataan dengan serela-relanya, niscaya mungkin kenyataan pun akan bicara lain.
Berdasarkan teori, ternyata rasa tidak terima, rasa tidak rela merupakan akar dari banyak penyakit baik penyakit fisik lebih-lebih penyakit psikis. Hal ini sangat nampak jika dikaji dari patofisiologi (baca : kronologis) proses stres saat mekanisme kehilangan ataupun saat pasca vonis suatu penyakit tertentu. Untuk bisa menerima kenyataan seseorang butuh proses yang panjang dan tingkat lamanya berbeda tiap individu tergantung pada ketahanan diri masing-masing. Menurut Kuber Loss, detik-detik stres / gangguan jiwa seseorang melewati 5 fase : 1. fase Denial (menolak kenyataan), contohnya jika pasien divonis terinfeksi HIV, maka pasien itu akan menolak dan menyalahkan dokternya, bahwa dokter telah salah diagnosa. Jangan heran, hal itu adalah wajar sebagai reaksi insidental. 2. fase Angry (marah-marah). Contohnya Sdr. W tadi yang begitu kehilangan uang 30 juta langsung emosi dan marah-marah. 3. fase Bargaining (tawar-menawar terhadap kenyataan yang menimpanya), contoh Sdr. W tadi dalam hati akan terjadi interaksi diri “iya sepertinya saya benar-benar ditipu, tapi tidak mungkin lah, dia berjanji untuk rekaman album kok”. Itulah ciri khas fase bargaining yang dalam dirinya masih terjadi pergolakan karena dalam proses dialog diri. 4. fase Depresi yang ditandai dengan menarik diri. Dalam fase ini seseorang lebih banyak diam tapi saat ditanya kasusnya tidak menjawab tiba-tiba muncul reaksi menangis atau mengamuk karena memori kasus itu begitu mendalam dan meresap. Di fase ke 4 inilah ujiannya begitu berat dan jika tidak segera melewatinya akan sakit kejiwaan yang lebih parah. 5. fase Acceptance (menerima), maksudnya menerima kenyataan yang terjadi pada dirinya dengan rela sepenuh hati. Acceptance ini jika dalam bahasa agama analog dengan ikhlas.
Saat benar-benar sampai pada fase ke-5 inilah akan sehat secara rohani maupun jasmani, karena dia sudah berhasil melewati proses stressor, bisa menerima dengan rela hati, bisa sampai pada dimensi ikhlas sejati. 5 fase diatas selalu akan dilewati oleh manusia dalam menghadapi problematika kehidupan ini secara berurutan. Jika adaptasinya cepat, maka ia akan segera sampai pada fase ke-5 dan itulah mekanisme coping adaptasi positif (baca : kondisi seimbang) yang mengantarkan kondisi sehat. Dari sini betapa terlihat bahwa acceptance / penerimaan / mengikhlaskan diri justru akan menyehatkan pribadi. Pertanyaannya, berapa banyak orang yang ikhlas ? berapa banyak orang yang cepat dalam melewati 5 fase itu untuk segera mencapai dimensi acceptance (ikhlas) ? Sdr. W adalah satu contoh kasus dalam kehidupan yang gagal meraih fase ikhlas. Ada banyak Sdr. W lain dalam perjalanan hidup ini, atau jangan-jangan kita juga termasuk dalam kasus Sdr. W itu.
Oleh karena itu Islam sangat menekankan nilai keikhlasan dan menempatkannya pada posisi yang tinggi dalam dimensi kualitas ibadah hamba. Bahkan apapun amal ibadah hamba menjadi tidak bernilai sama sekali jika keikhlasan diabaikan. Jadi sangat benar kitab Durrotun Nasihin saat berkata “ikhlas adalah ruh dari semua perbuatan”. Anjuran agar ikhlas itu bukanlah buat Tuhan, namun sebenarnya untuk kemaslahatan kita sendiri, untuk kesehatan kita sendiri. Namun sayang, sebuah kata yang amat sederhana (hanya terdiri dari 6 huruf), begitu mudah diucapkan namun amat sulit dipraktekkan.
Setiap kita tentu mempunyai problem. Setiap kita tentu juga memiliki masa lalu. Bukankah setiap problem yang mendera hidup kita membuat pergolakan batin dalam diri kita ? Hampir mayoritas kita tidak mampu berdamai dengan diri kita sendiri. Saat itulah hakikatnya kita sedang sakit. Manakala sudah bisa berdamai dengan diri, kita akan tenang, karena kita bisa menerima / ikhlas dengan kenyataan. itulah kesehatan sejati dan itulah ikhlas yang berhasil diraih. Seringkali kita sakit karena menolak kenyataan. Seringkali kita teringat masa lalu dan tidak memaafkan masa lalu sehingga kenyataan hari ini menjadi menyakitkan dan kehidupan dimasa depan begitu menakutkan. Oleh karena itu lisensinya adalah maafkanlah masa lalu, ikhlaskan kenyataan hari ini dan tawakalkan masa depan. Dengan demikian anda akan indah mengenang masa lalu, nikmat menjalani kenyataan sekarang dan optimis menyongsong masa depan.
Dalam pandangan patologi medis, ternyata salah satu penyebab seseorang mudah sakit adalah adanya stres karena saat stres imun tubuh (kekebalan) menurun. Disaat imun turun, yang sehat bisa jatuh sakit dan yang sakit sulit sembuh. Fakta laboratoris menunjukkan bahwa disaat orang stres hormon kortisolnya meningkat. Hal ini menjadi teori mapan dalam medis bahwa disaat hormon kortisol tinggi maka seseorang mengalami stres. Temuan spektakuler oleh Prof. Dr. Muhammad Sholeh dalam disertasi yang mengantarkan gelar doktornya dan telah diterbitkan menjadi buku “Terapi Sholat Tahajud” didapatkan bahwa responden yang tidak ikhlas / merasa berat dalam menjalankan perlakuan (sholat tahajud) didapatkan adanya kortisol yang tinggi. Sementara mereka yang ikhlas / rela menjalani perlakuan dalam ibadah justru kortisolnya turun sedang hormon endorphine-nya meningkat. Hormon endorphine menimbulkan efek relaksasi, efek nyaman, dan tenang. Dalam suasana yang rileks dan tenang imunitas (kekebalan) tubuh akan meningkat sehingga kesehatan menjadi prima. Fakta ilmiah membuktikan bahwa ikhlas itu meningkatkan hormon endorphine yang nantinya memicu peningkatan imunitas dan menurunkan kadar hormon kortisol. Subhanalloh, betapa ikhlas itu menyehatkan.
Erbe Sentanu bertahun-tahun berkeluarga namun belum dikaruniai keturunan. Hasil laboratorium membuatnya divonis mengalami Azospermia (tidak ada sperma dalam cairan spermanya). Secara medis dia divonis infertil (mandul). Infertil bisa kita artikan sakit dalam reproduksi. Terjadi pergolakan diri pasca vonis dokter itu. Ia segera berdamai dengan dirinya, mengikhlaskan kenyataan yang menimpanya dan mendekat pada Tuhan. Dalam suasana ikhlas itu terbitlah bukunya yang luar biasa “Quantum Ikhlas”, yang lebih mengagumkan lagi, beberapa bulan setelah itu ia cek laborat lagi dan didapatkan Oligozoospermatozoa (terdapat sperma namun dalam jumlah sedikit yang belum mampu untuk membuahi). Bulan berikutnya ia cek dan sperma dalam kuantitas dan kualitas yang normal sehingga akhirnya dia dikarunia keturunan, bahkan 4 keturunan tanpa rekayasa. Keikhlasan Erbe Sentanu mengubah vonis medis dari infertil menjadi sangat fertil. Keikhlasannya mengubah sakitnya menjadi kesehatan yang prima. Semoga keikhlasan itu ada pada setiap diri kita.

• Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Jember, Dai dan Perawat-Akupunturis, penulis buku “Panduan Lengkap seks Islami ditinjau dari Segi Al-Qur’an, hadis dan Medis”, dan dosen bantu di FIKES UNMUH Jember.

0 komentar:

Posting Komentar