curhat

PEMBELAJARAN BEHAVIORISME, KONSTRUKTIVISME


PEMBELAJARAN BEHAVIORISTIK, KONSTRUKTIVISTIK DAN KOGNITIVISTIK Makalah Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Inovasi Pembelajaran Yang dibina oleh Dr. Mundir, M.Pd. Oleh: Idris Mahmudi (0849110124) Nurul Tjahjawati (0849110217) Muslehudin (0849110216) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM KONSENTRASI Pemikiran Pendidikan Islam Supervisi Pendidikan Islam PROGRAM PASCA SARJANA STAIN JEMBER Oktober, 2012 Kata Pengantar Alhamdulilah meskipun dengan tersendat dan tertatih-tatih makalah yang tentu belum sempurna ini telah berhasil penulis persembahkan dalam memenuhi iklim akademik di perkuliahan S2 yang kontruktivis dan andragogis ini. Pasca memanjatkan puji syukur pada Allah SWT, penulis mengucapkan terima kasih pada pembina mata kuliah Inovasi pembelajaran, bapak Dr. Mundir, M.Pd. yang begitu sabar dan intens menemani diskusi kami di pasca sarjana STAIN Jember. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pada kedua sparing partner kami pak Ibnu dan pak Affandi yang bersama-sama konsis di konsentrasi pemikiran pendidikan Isam serta kelas sebelah kami konsentrasi supervisi pendidikan islam yang sering kuliah gabung sehingga terjadi asimilasi, akulturasi bahkan akomodasi sampai dengan equilibrasi pemikiran (meminjam istilah John Peaget dalam teori belajar kognitifnya). Semoga sekapur sirih coretan ilmiah ini mampu menghangatkan kembali nuansa akademis kelas pemikiran pendidikan islam di S2 STAIN Jember. Akhir kata, makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya masukan yang konstruktif sangat kami tunggu demi kontribusi kesempurnaan coretan ini. Jember, 12 Oktober 2012 Penulis, A. Pendahuluan Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan. Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas. B. Pembahasan 1. Teori Behavioristik Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984). Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran. Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000). Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon a. Pengertian Belajar Menurut Tokoh Behaviorisme. 1. J.B Watson. Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. 2. Clark Hull Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991). 3. Edwin Guthrie Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus, sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991). 4. Skinner Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya. b. Analisis Teori Behavioristik Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997). Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner. Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu: • Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara; • Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama; • Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya. Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons. c. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. 2. Konsep Belajar Kognitivisme Teori belajar kognitif menekankan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, namun tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dnegan tujuan pembelajarannya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak (Asri Budiningsih, 2005: 34). Teori kognitif dari Jean Piaget ini masih tetap diperbincangkan dan diacu dalam bidang pendidikan. Teori ini mulai banyak dibicarakan lagi kira-kira permulaan tahun 1960-an. Pengertian kognisi sebenarnya meliputi aspek-aspek struktur intelek yang digunakan untuk mengetahui sesuatu. Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif bukan hanya hasil kematangan organisme, bukan pula pengaruh lingkungan semata, melainkan hasil interaksi diantara keduanya. Teori Piaget menyatakan perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya (Utami Puji Lestari, 2008: 2). Lebih lanjut lagi Piaget berpendapat dalam bukunya Anita Woolfolk (2004: 41) ”Knowledge is not a copy of reality. To know an object, to know an evenent, is not simply to look at it and make a mental copy or image of it. To know an object is to act on it. To know is to modify, to transform the object, and to understand the process of this transformation, and as a consequence to understand the way the object is constructed. (Ilmu pengetahuan tidak hanya didasarkan pada melihat realita, namun untuk memahami akan objek, dan memahami tentang suatu keadaan memerlukan proses mental. Proses ini memerlukan modifikasi, transformasi objek, dan mengetahui proses transformasi tersebut sebagai konsekuensi untuk memahami tentang objek). Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu 1) kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya; 3) interaksi social, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan social, dan 4) ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan atau sistem mengatur dalam diri organisme agar dia selalu mempu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Sistem yang mengatur dari dalam mempunyai dua faktor, yaitu skema dan adaptasi. Skema berhubungan dengan pola tingkah laku yang teratur yang diperhatikan oleh organisma yang merupakan akumulasi dari tingkah laku yang sederhana hingga yang kompleks. Sedangkan adaptasi adalah fungsi penyesuaian terhadap lingkungan yang terdiri atas proses asimilasi dan akomodasi. Piaget mengemukakan penahapan dalam perkembangan intelektual anak yang dibagi ke dalam empat periode, yaitu : Periode sensori-motor ( 0 – 2,0 tahun ) Pada periode ini tingkah laku anak bersifat motorik dan anak menggunakan sistem penginderaan untuk mengenal lingkungannya/mengenal obyek. Periode pra-operasional (2,0 – 7,0 tahun ) Pada periode ini anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu model tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi. Periode operasional konkret ( 7,0 – 11,0 tahun ) Pada periode ini anak sudah mampu menggunakan operasi. Pemikiran anak tidak lagi didominasi oleh persepsi, sebab anak mampu memecahkan masalah secara logis. Periode operasional formal ( 11,0 – dewasa ) Periode operasi fomal merupakan tingkat puncak perkembangan struktur kognitif, anak remaja mampu berpikir logis untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat menggunakan penalaran ilmiah dan dapat menerima pandangan orang lain. Ada 4 aspek yang mempengaruhi konsep pembelajaran menurut teori kongnitivisme Piaget : a. Pendewasaaan/kematangan, merupakan pengembanagn dari susunan syaraf. b. Pengalaman fisis, anak harus mempunyai pengalaman dengan benda-benda dan stimulus- stimulus dalam lingkungan tempat ia beraksi terhadap benda-benda itu. c. Interaksi sosial, adalah pertukaran ide antara individu dengan individu d. Keseimbangan, adalah suatu sistem pengaturan sendiri yang bekerja untuk menyelesaikan peranan pendewasaan, pengalaman fisis, dan interaksi sosial. Teori Piaget mengenai terjadinya belajar didasari atas 4 konsep dasar, yaitu skema, asimilasi, akomodasi dan keseimbangan. Piaget memandang belajar itu sebagai tindakan kognitif, yaitu tindakan yang menyangkut pikiran. Tindakan kognitif menyangkut tindakan penataan dan pengadaptasian terhadap lingkungan. Piaget menginterpretasikan perkembangan kognitif dengan menggunakan diagram berikut : Berdasarkan diagram tersebut dimulai dengan meninjau anak yang sudah memiliki pengalaman yang khas, yang berarti anak sudah memiliki sejumlah skemata yang khas. Pada suatu keadaan seimbang sesaat ketika ia berhadapan dengan stimulus (bisa berupa benda, peristiwa, gagasan) pada pikiran anak terjadi pemilahan melalalui memorinya. Dalam memori anak terdapat 2 kemungkuinan yang dapat terjadi yaitu : Terdapat kesesuaian sempurna antara stimulus dengan skema yang sudah ada dalam pikiran anak Terdapat kecocokan yang tidak sempurna, antara stimulus dengan skema yang ada dalam pikiran anak. Kedua hal itu merupakan kejadian asimilasi. Menurut diagram, kejadian kesesuaian yang sempurna itu merupakan penguatan terhadap skema yang sudah ada. Stimulus yang baru (datang) tidak sepenuhnya dapat diasimilasikan ke dalam skemata yang ada. Di sini terjadi semacam gangguan mental atau ketidakpuasan mental seperti keingintahuan, kepedulian, kebingungan, kekesalan, dsb. Dalam keadaaan tidak seimbang ini anak mempunyai 2 pilihan : Melepaskan diri dari proses belajar dan mengabaikan stimulus atau menyerah dan tidak berbuat aa-apa (jalan buntu) Memberi tanggapan terhadap stimulus baru itu baik berupa tanggapan secara fisik maupun mental. Bila ini dilakukan anak mengubah pandangannya atau skemanya sebagai akibat dari tindakan mental yang dilakukannya terhadap stimulus itu. Peritiwa ini disebut akomodasi. Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmental karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Diantara teori belajar kognitif termasuk juga teori belajar kognitivisme adalah discovery learning (anak belajar sendiri menemukan dan memahami konsep) dan teori belajar Ausubel yang membagi 2 jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi. Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik. JEAN PIAGET JEROME BRUNER DAVID AUSUBEL • Proses belajar terjadi menurut pola taha-ptahap perkembangan tertentu sesuai dengan umur siswa. • Proses belajar melalui tahap- tahap Asimilasi (proses penyesuaian pengetahuan baru dengan struktur kognitif siswa). Akomodasi (proses penyesuaian struktur kognitif siswa dengan pengetahuan baru). Ekuilibrasi (proses penyeimbangan mental setelah terjadi proses asimilasi / akomodasi). • Proses belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara kita mengatur materi pelajaran, dan bukan ditentukan oleh umur siswa. • Proses belajar melalui tahap-tahap : Enaktif (aktivitas siswa untuk memahami lingkungan. Ikonik (siswa melihat dunia melalui gambargambar dan visualisasi verbal). Simbolik (siswa memahami Gagasan-gagasan abstrak) • Proses belajar terjadi bila siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dia miliki dengan pengetahuan yang baru. • Proses belajar melalui tahap-tahap: Memperhatikan stimulus yang diberikan. Memahami makna stimulus. Menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami. Selain ketiga tokoh pembelajaran kognitivisme tersebut juga ada tokoh-tokoh kognitivisme lain yang berpengaruh, diantaranya adalah teori gestalt. Peletak dasar teori gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada simpanse. Kaum gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut pandangan gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan antara bagian dan keseluruhan. Intinya, menurut mereka, tingkat kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran. Selanjutnya Kurt Lewin (1892-1947). Mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan di mana individu bereaksi, misalnya ; orang – orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward. 3. Teori Belajar Kontruktivisme Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Hakikat pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan yang bermakna. Jadi, dalam konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk membangun constructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar. Teori belajar yang mencerminkan siswa memiliki kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apa pun asal tujuan belajar dapat tercapai. Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Ada 4 komponen dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu: 1. Pengetahuan Awal (Prerequisite), 2. Fakta Dan Masalah, 3. Sistematika Berfikir, 4. Kemauan Dan Keberanian. a. Konsep Belajar dan Pengetahuan menurut Konstruktivisme Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melaui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Ada beberapa pandangan dari segi konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar. Menurut pandangan konstrktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa. Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai kunstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransfer itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri. Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1) Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman 2) Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan 3) Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya. Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut: No. Pembelajaran tradisional Pembelajaran konstruktivistik 1. Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar. Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas. 2. Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan. Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa. 3. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan. 4. Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya. 5. Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing. Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan. 6. Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group proses dalam belajar Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group proses. Karakteristik pembelajaran (konstruktivisme) yang harus dilakukan adalah : 1 Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah diterapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas. 2 Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan. 3 Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, dimana terdapat macam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi. 4 Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar di pahami, tidak teratur, dan tidak mudah di kelola. Kelebihan - Kelebihan dalam proses pembelajaran konstruktivistik siswa dituntut untuk bisa berfikir aktif dalam belajar - Kelebihan konstruktivistik dalam pembelajaran bisa adanya group - Pembelajaran terjadi lebih kepada ide-ide dari siswa itu sendiri Kekurangannya - Kekurangan apabila ada siswa yang pasif pembelajaran konstruktivistik ini tidak cocok untuk siswa pasif - Siswa belajar secara konsep dasar tidak pada ketrampilan dari siswa itu sendiri - Dalam pembelajarannya tidak memusatkan pada kurikulum yang ada C. Penutup Sebenarnya teori pembelajaran sangatlah banyak, namun yang terkenal dalam dunia pendidikan 3 diatas (behaviorisme, kognitivisme dan konstruktivisme), selanjutnya mengkerucut menjadi 2 teori besar yang saling paradoksal (behaviorisme dan konstruktivisme), bahkan dalam kenyataannya behaviorisme mendominasi hingga para pendidik dan intelektual saat ini mayoritas adalah produk pembelajaran behaviorisme. Manakah yang lebih baik dari 3 teori pembelajaran tersebut ? Jawabannya sangatlah beragam dan saling pro-kontra. Namun penulis berpendapat semuanya memiliki nilai kelebihan pun juga memiliki kekurangan. Semuanya dapat diaplikasikan tergantung situasi, kondisi, sarana, pendidik dan peserta didiknya. Agaknya secara implisit penulis setuju dengan konsep konvergensi pendidikan/pembelajaran jika harus memilih dan memberikan argumentasi dari 3 teori besar dalam pembahasan makalah ini. Sumber Referensi : Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Bachtiar. Media Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, 2009. Jakarta. Budiningsih, C. Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rineka Cipta Gintings. Esensi Praktis Belajar&Pembelajaran, Humaniora, 2008. Bandung. Mulyati. 2005. Psikologi Belajar. Surakarta: Andi Paul Suparno, (1996). Konstruktivisme dan Dampaknya terhadap Pendidikan. Kompas Riyanto. Paradigma Baru Pembejaran, Kencana Prenada Media Group, 2010. Jakarta. Slameto. (2003). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta Seivert, Kelvin. 2008. Manajemen Pembelajaran dan Instruksi Pendidikan. Yogyakarta: IRCiSoD Suciati. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka. Woolforlk, Anita. (2004). Educational psychology (ninth edition). United State of America: The Ohio State University. http://poetralamakera.blogspot.com/2011/01/teori-modernitas-kontemporer.html http://carapedia.com/pengertian_definisi_belajar_menurut_para_ahli_info499.html http://www.sekolahdasar.net/2011/04/ciri-ciri-pembelajaran-modern.html http://stitattaqwa.blogspot.com/2011/12/definisi-fungsi-dan-menfaat-teknologi.html PEMBELAJARAN BEHAVIORISTIK, KONSTRUKTIVISTIK DAN KOGNITIVISTIK Makalah Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Inovasi Pembelajaran Yang dibina oleh Dr. Mundir, M.Pd. Oleh: Idris Mahmudi (0849110124) Nurul Tjahjawati (0849110217) Muslehudin (0849110216) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM KONSENTRASI Pemikiran Pendidikan Islam Supervisi Pendidikan Islam PROGRAM PASCA SARJANA STAIN JEMBER Oktober, 2012 Kata Pengantar Alhamdulilah meskipun dengan tersendat dan tertatih-tatih makalah yang tentu belum sempurna ini telah berhasil penulis persembahkan dalam memenuhi iklim akademik di perkuliahan S2 yang kontruktivis dan andragogis ini. Pasca memanjatkan puji syukur pada Allah SWT, penulis mengucapkan terima kasih pada pembina mata kuliah Inovasi pembelajaran, bapak Dr. Mundir, M.Pd. yang begitu sabar dan intens menemani diskusi kami di pasca sarjana STAIN Jember. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pada kedua sparing partner kami pak Ibnu dan pak Affandi yang bersama-sama konsis di konsentrasi pemikiran pendidikan Isam serta kelas sebelah kami konsentrasi supervisi pendidikan islam yang sering kuliah gabung sehingga terjadi asimilasi, akulturasi bahkan akomodasi sampai dengan equilibrasi pemikiran (meminjam istilah John Peaget dalam teori belajar kognitifnya). Semoga sekapur sirih coretan ilmiah ini mampu menghangatkan kembali nuansa akademis kelas pemikiran pendidikan islam di S2 STAIN Jember. Akhir kata, makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya masukan yang konstruktif sangat kami tunggu demi kontribusi kesempurnaan coretan ini. Jember, 12 Oktober 2012 Penulis, A. Pendahuluan Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan. Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas. B. Pembahasan 1. Teori Behavioristik Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984). Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran. Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000). Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon a. Pengertian Belajar Menurut Tokoh Behaviorisme. 1. J.B Watson. Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. 2. Clark Hull Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991). 3. Edwin Guthrie Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus, sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991). 4. Skinner Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya. b. Analisis Teori Behavioristik Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997). Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner. Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu: • Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara; • Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama; • Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya. Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons. c. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. 2. Konsep Belajar Kognitivisme Teori belajar kognitif menekankan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, namun tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dnegan tujuan pembelajarannya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak (Asri Budiningsih, 2005: 34). Teori kognitif dari Jean Piaget ini masih tetap diperbincangkan dan diacu dalam bidang pendidikan. Teori ini mulai banyak dibicarakan lagi kira-kira permulaan tahun 1960-an. Pengertian kognisi sebenarnya meliputi aspek-aspek struktur intelek yang digunakan untuk mengetahui sesuatu. Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif bukan hanya hasil kematangan organisme, bukan pula pengaruh lingkungan semata, melainkan hasil interaksi diantara keduanya. Teori Piaget menyatakan perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya (Utami Puji Lestari, 2008: 2). Lebih lanjut lagi Piaget berpendapat dalam bukunya Anita Woolfolk (2004: 41) ”Knowledge is not a copy of reality. To know an object, to know an evenent, is not simply to look at it and make a mental copy or image of it. To know an object is to act on it. To know is to modify, to transform the object, and to understand the process of this transformation, and as a consequence to understand the way the object is constructed. (Ilmu pengetahuan tidak hanya didasarkan pada melihat realita, namun untuk memahami akan objek, dan memahami tentang suatu keadaan memerlukan proses mental. Proses ini memerlukan modifikasi, transformasi objek, dan mengetahui proses transformasi tersebut sebagai konsekuensi untuk memahami tentang objek). Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu 1) kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya; 3) interaksi social, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan social, dan 4) ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan atau sistem mengatur dalam diri organisme agar dia selalu mempu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Sistem yang mengatur dari dalam mempunyai dua faktor, yaitu skema dan adaptasi. Skema berhubungan dengan pola tingkah laku yang teratur yang diperhatikan oleh organisma yang merupakan akumulasi dari tingkah laku yang sederhana hingga yang kompleks. Sedangkan adaptasi adalah fungsi penyesuaian terhadap lingkungan yang terdiri atas proses asimilasi dan akomodasi. Piaget mengemukakan penahapan dalam perkembangan intelektual anak yang dibagi ke dalam empat periode, yaitu : Periode sensori-motor ( 0 – 2,0 tahun ) Pada periode ini tingkah laku anak bersifat motorik dan anak menggunakan sistem penginderaan untuk mengenal lingkungannya/mengenal obyek. Periode pra-operasional (2,0 – 7,0 tahun ) Pada periode ini anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu model tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi. Periode operasional konkret ( 7,0 – 11,0 tahun ) Pada periode ini anak sudah mampu menggunakan operasi. Pemikiran anak tidak lagi didominasi oleh persepsi, sebab anak mampu memecahkan masalah secara logis. Periode operasional formal ( 11,0 – dewasa ) Periode operasi fomal merupakan tingkat puncak perkembangan struktur kognitif, anak remaja mampu berpikir logis untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat menggunakan penalaran ilmiah dan dapat menerima pandangan orang lain. Ada 4 aspek yang mempengaruhi konsep pembelajaran menurut teori kongnitivisme Piaget : a. Pendewasaaan/kematangan, merupakan pengembanagn dari susunan syaraf. b. Pengalaman fisis, anak harus mempunyai pengalaman dengan benda-benda dan stimulus- stimulus dalam lingkungan tempat ia beraksi terhadap benda-benda itu. c. Interaksi sosial, adalah pertukaran ide antara individu dengan individu d. Keseimbangan, adalah suatu sistem pengaturan sendiri yang bekerja untuk menyelesaikan peranan pendewasaan, pengalaman fisis, dan interaksi sosial. Teori Piaget mengenai terjadinya belajar didasari atas 4 konsep dasar, yaitu skema, asimilasi, akomodasi dan keseimbangan. Piaget memandang belajar itu sebagai tindakan kognitif, yaitu tindakan yang menyangkut pikiran. Tindakan kognitif menyangkut tindakan penataan dan pengadaptasian terhadap lingkungan. Piaget menginterpretasikan perkembangan kognitif dengan menggunakan diagram berikut : Berdasarkan diagram tersebut dimulai dengan meninjau anak yang sudah memiliki pengalaman yang khas, yang berarti anak sudah memiliki sejumlah skemata yang khas. Pada suatu keadaan seimbang sesaat ketika ia berhadapan dengan stimulus (bisa berupa benda, peristiwa, gagasan) pada pikiran anak terjadi pemilahan melalalui memorinya. Dalam memori anak terdapat 2 kemungkuinan yang dapat terjadi yaitu : Terdapat kesesuaian sempurna antara stimulus dengan skema yang sudah ada dalam pikiran anak Terdapat kecocokan yang tidak sempurna, antara stimulus dengan skema yang ada dalam pikiran anak. Kedua hal itu merupakan kejadian asimilasi. Menurut diagram, kejadian kesesuaian yang sempurna itu merupakan penguatan terhadap skema yang sudah ada. Stimulus yang baru (datang) tidak sepenuhnya dapat diasimilasikan ke dalam skemata yang ada. Di sini terjadi semacam gangguan mental atau ketidakpuasan mental seperti keingintahuan, kepedulian, kebingungan, kekesalan, dsb. Dalam keadaaan tidak seimbang ini anak mempunyai 2 pilihan : Melepaskan diri dari proses belajar dan mengabaikan stimulus atau menyerah dan tidak berbuat aa-apa (jalan buntu) Memberi tanggapan terhadap stimulus baru itu baik berupa tanggapan secara fisik maupun mental. Bila ini dilakukan anak mengubah pandangannya atau skemanya sebagai akibat dari tindakan mental yang dilakukannya terhadap stimulus itu. Peritiwa ini disebut akomodasi. Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmental karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Diantara teori belajar kognitif termasuk juga teori belajar kognitivisme adalah discovery learning (anak belajar sendiri menemukan dan memahami konsep) dan teori belajar Ausubel yang membagi 2 jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi. Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik. JEAN PIAGET JEROME BRUNER DAVID AUSUBEL • Proses belajar terjadi menurut pola taha-ptahap perkembangan tertentu sesuai dengan umur siswa. • Proses belajar melalui tahap- tahap Asimilasi (proses penyesuaian pengetahuan baru dengan struktur kognitif siswa). Akomodasi (proses penyesuaian struktur kognitif siswa dengan pengetahuan baru). Ekuilibrasi (proses penyeimbangan mental setelah terjadi proses asimilasi / akomodasi). • Proses belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara kita mengatur materi pelajaran, dan bukan ditentukan oleh umur siswa. • Proses belajar melalui tahap-tahap : Enaktif (aktivitas siswa untuk memahami lingkungan. Ikonik (siswa melihat dunia melalui gambargambar dan visualisasi verbal). Simbolik (siswa memahami Gagasan-gagasan abstrak) • Proses belajar terjadi bila siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dia miliki dengan pengetahuan yang baru. • Proses belajar melalui tahap-tahap: Memperhatikan stimulus yang diberikan. Memahami makna stimulus. Menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami. Selain ketiga tokoh pembelajaran kognitivisme tersebut juga ada tokoh-tokoh kognitivisme lain yang berpengaruh, diantaranya adalah teori gestalt. Peletak dasar teori gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada simpanse. Kaum gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut pandangan gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan antara bagian dan keseluruhan. Intinya, menurut mereka, tingkat kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran. Selanjutnya Kurt Lewin (1892-1947). Mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan di mana individu bereaksi, misalnya ; orang – orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward. 3. Teori Belajar Kontruktivisme Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Hakikat pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan yang bermakna. Jadi, dalam konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk membangun constructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar. Teori belajar yang mencerminkan siswa memiliki kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apa pun asal tujuan belajar dapat tercapai. Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Ada 4 komponen dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu: 1. Pengetahuan Awal (Prerequisite), 2. Fakta Dan Masalah, 3. Sistematika Berfikir, 4. Kemauan Dan Keberanian. a. Konsep Belajar dan Pengetahuan menurut Konstruktivisme Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melaui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Ada beberapa pandangan dari segi konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar. Menurut pandangan konstrktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa. Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai kunstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransfer itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri. Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1) Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman 2) Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan 3) Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya. Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut: No. Pembelajaran tradisional Pembelajaran konstruktivistik 1. Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar. Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas. 2. Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan. Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa. 3. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan. 4. Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya. 5. Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing. Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan. 6. Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group proses dalam belajar Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group proses. Karakteristik pembelajaran (konstruktivisme) yang harus dilakukan adalah : 1 Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah diterapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas. 2 Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan. 3 Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, dimana terdapat macam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi. 4 Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar di pahami, tidak teratur, dan tidak mudah di kelola. Kelebihan - Kelebihan dalam proses pembelajaran konstruktivistik siswa dituntut untuk bisa berfikir aktif dalam belajar - Kelebihan konstruktivistik dalam pembelajaran bisa adanya group - Pembelajaran terjadi lebih kepada ide-ide dari siswa itu sendiri Kekurangannya - Kekurangan apabila ada siswa yang pasif pembelajaran konstruktivistik ini tidak cocok untuk siswa pasif - Siswa belajar secara konsep dasar tidak pada ketrampilan dari siswa itu sendiri - Dalam pembelajarannya tidak memusatkan pada kurikulum yang ada C. Penutup Sebenarnya teori pembelajaran sangatlah banyak, namun yang terkenal dalam dunia pendidikan 3 diatas (behaviorisme, kognitivisme dan konstruktivisme), selanjutnya mengkerucut menjadi 2 teori besar yang saling paradoksal (behaviorisme dan konstruktivisme), bahkan dalam kenyataannya behaviorisme mendominasi hingga para pendidik dan intelektual saat ini mayoritas adalah produk pembelajaran behaviorisme. Manakah yang lebih baik dari 3 teori pembelajaran tersebut ? Jawabannya sangatlah beragam dan saling pro-kontra. Namun penulis berpendapat semuanya memiliki nilai kelebihan pun juga memiliki kekurangan. Semuanya dapat diaplikasikan tergantung situasi, kondisi, sarana, pendidik dan peserta didiknya. Agaknya secara implisit penulis setuju dengan konsep konvergensi pendidikan/pembelajaran jika harus memilih dan memberikan argumentasi dari 3 teori besar dalam pembahasan makalah ini. Sumber Referensi : Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Bachtiar. Media Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, 2009. Jakarta. Budiningsih, C. Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rineka Cipta Gintings. Esensi Praktis Belajar&Pembelajaran, Humaniora, 2008. Bandung. Mulyati. 2005. Psikologi Belajar. Surakarta: Andi Paul Suparno, (1996). Konstruktivisme dan Dampaknya terhadap Pendidikan. Kompas Riyanto. Paradigma Baru Pembejaran, Kencana Prenada Media Group, 2010. Jakarta. Slameto. (2003). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta Seivert, Kelvin. 2008. Manajemen Pembelajaran dan Instruksi Pendidikan. Yogyakarta: IRCiSoD Suciati. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka. Woolforlk, Anita. (2004). Educational psychology (ninth edition). United State of America: The Ohio State University. http://poetralamakera.blogspot.com/2011/01/teori-modernitas-kontemporer.html http://carapedia.com/pengertian_definisi_belajar_menurut_para_ahli_info499.html http://www.sekolahdasar.net/2011/04/ciri-ciri-pembelajaran-modern.html http://stitattaqwa.blogspot.com/2011/12/definisi-fungsi-dan-menfaat-teknologi.html

PEMIKIRAN KYAI DAHLAN DALAM PENDIDIKAN

FILOSOFI PEMIKIRAN PENDIDIKAN K.H. AHMAD DAHLAN DALAM FENOMENA MUHAMMADIYAH Makalah Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Yang dibina oleh Dr. Muniron, M.Ag. Oleh: Idris Mahmudi, Amd.Kep; S.Pd.I. NIM (0849110124) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM KONSENTRASI Pemikiran Pendidikan Islam PROGRAM PASCA SARJANA STAIN JEMBER November, 2012 Kata Pengantar Alhamdulilah meskipun dengan tersendat dan tertatih-tatih makalah yang tentu belum sempurna ini telah berhasil penulis persembahkan dalam memenuhi iklim akademik di perkuliahan S2 yang kontruktivis dan andragogis ini. Pasca memanjatkan puji syukur pada Allah SWT, penulis mengucapkan terima kasih pada pembina mata kuliah Pemikiran Tokoh-tokoh Pendidikan Islam, bapak Dr. Muniron, M.Ag. yang begitu sabar dan intens menemani diskusi kami di pasca sarjana STAIN Jember. Secara jujur penulis begitu terkesan dengan pemikiran dan wawasan Dr. Muniron terutama saat membaca Disertasi beliau. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pada kedua sparing partner kami pak Ibnu dan pak Affandi yang bersama-sama konsis di konsentrasi pemikiran pendidikan Isam. Semoga kami bertiga bisa selesai dengan lancar dari S2 ini dan menyandang gelar magister bahkan tidak berlebihan jika nantinya sama-sama menyandang Prof. Dr. Semoga sekapur sirih coretan ilmiah ini mampu menghangatkan kembali nuansa akademis kelas pemikiran pendidikan islam di S2 STAIN Jember. Akhir kata, makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya masukan yang konstruktif sangat kami tunggu demi kontribusi kesempurnaan coretan ini. Jember, 12 Oktober 2012 Penulis, A. PENDAHULUAN Kontek sosial-ekonomi-kultural dan politik di masa kolonialisme yang terjadi di Indonesia adalah kondisi pendidikan yang dikotomis. Dikotomis disini bisa berarti corak pendidikan umum yang berkiblat barat dan pendidikan islam (terrepresentasikan oleh pesantren) yang cenderung tradisional. Dikotomis juga berarti pemetaan sekolah dalam bentuk sekolah pribumi dan sekolah khusus anak belanda. Ini terjadi memang disengaja oleh Hindia Belanda untuk memperkuat dan menajamkan kuku kolonialisme Belanda di Indonesia. Sadar akan tantangan yang demikian, di beberapa kawasan Nusantara tampil para tokoh dan pemikir membawa seperangkat pemikirannya, baik dalam bentuk tulisan maupun melalui karya nyata sebagai jawaban terhadap tantangan yang mereka hadapi. Mereka itulah yang disebut dengan kaum pembaharu yang kehadiran dan kebangkitan mereka bertujuan tidak hanya untuk menentang pengaruh Barat dari segi sosial dan kultural, tetapi juga untuk menghimbau mereka untuk kembali kepada dasar-dasar pokok Islam melalui jalur pendidikan sebagai sentral kegiatan politiknya. Di antara tokoh pembaharu itu adalah yang muncul di Kauman Yogyakarta yaitu K. H. Ahmad Dahlan (1868-1923) dengan pemikirannya mengenai pendidikan Islam dan organisasi Muhammadiyahnya yang didirikan pada tahun 1912 M (tepatnya 8 Dzulhijjah 1330 H/ 18 November 1912 M yang sekarang sudah berusia genap 100 tahun/ 1 abad). Ada 2 pengaruh yang mengantarkan lahirnya gerakan Muhammadiyah di awal abad ke 20. Pertama, gerakan Tajdid Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rosyid Ridho. Masing-masing memiliki corak pemikiran khas yang membedakan dari yang lain. Muhammad bin abdul Wahab menekankan pemurnian aqidah, seperti layaknya gerakan-gerakan Hanbali sebelumnya, dan karenanya gerakannya lebih bersifat puritan. Jamaludin Al-Afghani menekankan kebangkitan politik umat Islam, dan karena itu gerakannya lebih bersifat revivalis. Muhammad Abduh menekankan pemanfaatan budaya modern, dan karenanya gerakannya lebih bersifat modernis. Rasyid Ridha menekankan pentingnya berorientasi pada masa awal islam dalam kerangka pemahaman islam, dan karenanya gerakannya lebih bersifat reformis yang menjadi akar fundamentalisme di Timur Tengah. Dari telaah biografi K.H Ahmad Dahlan, terlihat betapa pendiri Muhammadiyah itu sangat terkesan dengan pemikiran-pemikiran mereka yang kemudian dipadu dengan setting sosial dan budaya Jawa. K.H. Dahlan dengan Muhammadiyahnya memadukan puritanisme, aktivisme, modernisme dan reformisme. Disebut apa jika demikian ? ya, tajdid itulah sebutan yang tepat. Kedua, modernisme barat yang terekspos melalui kolonialisme Belanda. Tapi Kyai Dahlan tidak melihat ide-ide modernnya, namun melihat pada lingkup format budaya seperti dasi, rumah sakit dan sekolahan ala Belanda. (Syafiq Mughni dalam Memberi dan Mencerahkan, 2009 : 4-5). Inilah embrio dari artikulasi pendidikan versi Kyai Dahlan. Selanjutnya, membicarakan tentang pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tidaklah lengkap tanpa membaca konteks historis biografi beliau dan fenomena Muhammadiyah sebagai produk pemikiran praksis nya terutama yang telah mewarnai dalam bidang pendidikan di bangsa ini. (Syafiq Mughni dalam Memberi dan Mencerahkan, 2009 : 3). B. PEMBAHASAN 1. Riwayat Hidup Singkat Ahmad Dahlan Seperti yang kita ketahui bahwa penulisan riwayat hidup K.H. Ahmad Dahlan telah banyak dilakukan oleh para sarjana. K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 . Nama kecilnya adalah Muhammad Darwisy dan merupakan anak ke-empat dari K.H. Abu Bakar (seorang ulama dan khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan ibunya merupakan putri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga. Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang ke-duabelas dari maulana malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di tanah Jawa. Ia dikenal jujur dan sederhana dan inilah yang membuatnya disukai orang. Untuk mempelajari ilmu-ilmu agama ia berpindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Ia mempunyai sikap kritis terhadap pola pendidikan tradisional, tetapi tidak punya kekuatan untuk mengubahnya. Dalam keadaan seperti ini Ia beruntung memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikannya ke Mekah pada tahun 1890. Di sinilah Ia berinteraksi dengan pemikir-pemikir pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afgani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar padanya. Ia juga merupakan murid Syaikh Ahmad Khatib (1899-1916), tokoh kelahiran Indonesia yang saat itu menempati posisi tertinggi dalam penguasaannya atas ilmu-ilmu agama di Mekkah. Dalam pendidikan keagamaan formalnya sebagian besar waktu K.H. Ahmad Dahlan tampaknya dihabiskan untuk mempelajari ajaran Islam tradisionalis, karena itu perkenalannya dengan gagasan-gagasan modernisme Islam kemungkinan terjadi lewat bacaan pribadi dan hubungannya dengan kaum moerdenis Muslim lain. Sekembalinya dari Mekkah tahun 1905, Ia menikah dengan Siti Walidah, anak perempuan seorang hakim di Yogyakarta yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Karena gajinya sebagai khatib tidak mencukupi untuk memenuhi keperluannnya sehari-hari, ia berdagang batik. Ini membawanya ke hampir semua daerah di Jawa dan memberinya kesempatan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya kepada kaum Muslim di daerah masing-masing. Mereka inilah yang belakangan menjadi bagian inti gerakan Muhammadiyah dan pengikutnya yang bersemangat. K.H. Ahmad Dahlan juga bergabung dengan organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, anggota teras Sarekat Islam. Sejak awal K.H. Ahmad Dahlan menetapkan bahwa Muhammadiyah yang didirikannya bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial-keagamaan dan bergerak di bidang pendidikan. Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut. Namun, pada saat Muhammadiyah teratur dan kuat, K.H. Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada tanggal 23 Februari 1923 dalam usia 55 tahun. Dan sekarang kita dapat menyaksikan Muhammadiyah menjadi semakin maju dan berkembang di seluruh nusantara dengan berbagai amal usahanya tidak terlepas dari usaha beliau yang sangat luar biasa. 2. Pemikiran Pendidikan K.H. Dahlan Pemikiran K.H Dahlan tidak terungkap secara elaboratif dan sistematik karena tampaknya Muhammadiyah pada saat awalnya tidak diarahkan untuk menjadi gerakan pemikiran, tapi gerakan sosial keagamaan. Terbukti tidak banyak tulisannya yang bisa dinikmati oleh kalangan luas. Ketika mengajarkan surat Al-Ma’un misalnya, K.H Dahlan tidak memberikan penafsiran yang elaboratif, tetapi memilih aplikasi nyata untuk reformasi kehidupan sosial dengan semangat surat tersebut. Demikian pula saat mendirikan sekolah, Ia lebih memilih tujuan pendidikan aplikatif daripada pengajaran intelektualistik. Itulah yang membedakannya dengan pembaharu keagamaan lain pada jamannya, seperti Ahmad Syurkati (Al-Irsyad) dan A. Hasan (Persatuan Islam). Itu pulalah yang menjadikan gerakannya lebih luas dan bertahan. (Syafiq Mughni dalam Memberi dan Mencerahkan, 2009 : 5-6). Hal ini pula yang membuat Carl Whiterington menyimpulkan bahwa Kyai Dahlan bukan ulama melainkan prakmatikus agama. (Muhajir Efendi dalam Memberi dan Mencerahkan, 2009 : 149). Oleh karenanya tujuan utama pendidikan Muhammadiyah sebagai hasil pemikiran Kyai Dahlan adalah pembentukan pribadi yang bertaqwa dan berakhlak mulia. (Musfiqon dalam Memberi dan Mencerahkan, 2009 : 87). K.H Ahmad Dahlan adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pemikiran pendidikan Beliau harus lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir beliau yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Beliau terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Beliau dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt. Pribadi K.H. Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu “model” dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan “titik pusat” dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, K.H. Ahmad Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik asosiasi (sejak tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser lembaga pendidikan Islam semacam pondok pesantren. Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Dahlan merasa sedih melihat kondisi umat di Indonesia terjajah, tidak terdidik, terbelakang dan terasing dari agamanya. Sepulang dari haji, kesedihan itu semakin bertambah. Ia sadar harus berbuat meskipun berlawanan dengan kultur zamannya, taqlid dan jumud. (Syafiq A Mughni dalam Memberi dan Mencerahkan, 2009 : 3). Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini K.H. Ahmad Dahlan “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu. Cita-cita pendidikan yang digagas Beliau adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Dalam era sekarang konsep Kyai Dahlan ini lebih tepat dikatakan sebagai upaya pendidikan Integralistik. Pemikiran pendidikan Kyai Dahlan hari ini sangat nampak pada produk organisasinya, Muhammadiyah. Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor dalam pendidikan di Indonesia. Bagaimana sekolah umum mengenal pendidikan agama dan sebaliknya pondok pesantren menerima ilmu non-agama. Satu abad lalu hal itu adalah sebuah langkah terobosan. Tidak mudah menerima terobosan seperti itu. Hanya orang-orang yang berjiwa reformis yang mampu mencernanya. (M. Sulthon Amin dalam Memberi dan Mencerahkan, 2009 : 79). Pemikiran pendidikan Kyai Dahlan mencerahkan, tepat sekali jika simbol organisasi Muhammadiyah yang didirikan adalah matahari yang bersifat menyinari dan mencerahkan. Belakangan lagu mars Muhammadiyah juga berjudul “sang Surya”, bahkan lembaga pendidikan tinggi Universitas Muhammadiyah bergelar “kampus matahari”. Kyai Dahlan dikenal dengan pembaharu, Muhammadiyah sebagai produk pemikiran pendidikannya juga bersifat sebagai organisasi Tajdid (pembaharuan). Dari sini bisa dikatakan bahwa corak/filsafah pemikiran pendidikan kyai Dahlan adalah modernis. Kemodernisan pemikiran pendidikan Kyai Dahlan bisa dilihat dari biografinya yang dekat dengan Muhammad Abduh (Mesir 1849-1905 yang mengusung pembaharuan), Jamaludin Al-Afghani (mengusung Pan Islamisme) serta Ibnu Taymiyyah dengan slogan Ar-Ruju’ ilal Qur’an was sunnahnya, yang kemudian mengantarkan Muhammadiyah sebagai gerakan puritan dalam bidang aqidah. Sungguhpun Muhammadiyah puritan dan fundamental dalam bidang aqidah, namun sangat modernis bahkan revolusioner dalam bidang pendidikan terutama jika ditilik saat konteks zaman kyai Dahlan. Kemodernisan pemikiran pendidikan Kyai Dahlan itu karena Dahlan dan Muhammadiyah hari ini membedakan antara aqidah, ibadah dan muamalat. Pendidikan masuk dalam lingkup ibadah yang muamalat, artinya inovasi, kreasi dan improvisasi dalam pendidikan/pembelajaran tidaklah menyalahi syariat walaupun dalam metode, sarana dan prasarana sama dengan penjajah belanda yang dianggap kafir saat itu. Meniru kemajuan barat dalam pendidikan dan metodenya tidaklah serta merta menjadi kafir. Inilah kontra produktif tokoh yang berseberangan dengan Dahlan kala itu hingga menganggap Dahlan sebagai kyai kafir. Setiap pembaharu pasti mendapat perlawanan dan setiap pembaharuan/kemodernisan selalu berhadapan dengan tradisional yang dianggap mapan. Dari sini tepat bila Deliar Noer menyebut kyai Dahlan dan Muhammadiyah sebagai organisasi modern terbesar di Indonesia, bahkan Nurcholis Madjid menyatakan pendidikan Muhammadiyah sebagai gerakan islam modernis dan sekaligus reformis yang terbesar di dunia. Lebih tegas lagi pernyataan kyai Dahlan saat ditanya apa sebenarnya Muhammadiyah itu, beliau menjawab “Muhammadiyah adalah Islam yang berkemajuan”. Ini menunjukkan bahwa kyai Dahlan dan pikirannya sangat pro kemajuan, kemodernisan dan pro perubahan. Ide pendidikan modern kyai Dahlan itu kini semakin berkembang di Indonesia dalam bentuk sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi Muhammadiyah. Jika kyai Dahlan tidak berjiwa modern, pembaharu dan bersikap terbuka dalam pendidikan, maka sangat mustahil lembaga pendidikan Muhammadiyah mampu berkembang sampai detik ini baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Kepemimpinan oraganisasinya juga selalu bertambah dan tertata rapi dari desa (ranting) hingga pusat Jakarta serta mampu bertahan hingga hari ini genap 1 abad. 3. Produk Organisasi dan Artikulasi Pemikiran Dahlan dalam Lembaga Pendidikan. Sejak pemikiran kyai Dahlan menjelma menjadi gerakan yang bernama Muhammadiyah, mulai berdiri hingga hari ini fenomena nya cukup menarik dicermati. Lecutan kyai Dahlan dalam ucapannya “Muhammadiyah sekarang berbeda dengan Muhammadiyah esok hari, maka jadilah insinyur, kembalilah pada Muhammadiyah, jadilah dokter, jadilah master dan kembalilah pada Muhammadiyah” merupakan spirit pendidikan kyai Dahlan yang tidak melupakan karya organisasinya. Keterbukaan dan kemodernan pemikiran kyai Dahlan terutama dalam konsentrasi pendidikan mengantarkan kebesaran Muhammadiyah hari ini sehingga beliau berpesan “kutitipkan Muhammadiyah kepadamu”. Beliau sangat prediktable dengan zaman dan ide yang dilontarkan hingga mampu membaca kemungkinan kebesaran Muhammadiyah di belakang hari dengan berpesan “jangan duakan Muhammadiyah”. Bahkan Muhammadiyah dan amal usahanya (semua lembaga aset dakwah Muhammadiyah yang sangat banyak) diwanti-wanti oleh pendirinya dengan “hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Pesan dan ide kyai Dahlan tidaklah tiba-tiba hadir dari ruang hampa. Betapa tidak, ternyata pemikiran kyai Dahlan makin menjelma sebagai praksis gerakan yang melayani dan mensejahterakan bangsa. Fenomena perkembangan Muhammadiyah perbandingan tahun 2000 dan tahun 2005 dalam jumlah : Jenis Lembaga Tahun 2000 Tahun 2005 Pimpinan Wilayah Pimpinan Daerah Pimpinan Cabang Pimpinan Ranting SD/MI SMP SMA/SMK/sederajat Perguruan Tinggi Pondok Pesantren Institusi Kesehatan Panti Asuhan 26 295 2461 6098 2896 1713 929 132 55 312 240 30 375 2648 6721 2901 1718 946 165 67 345 330 (sumber : Suli Daim dalam Memberi dan Mencerahkan, 2009 : 79). Ide dan pemikiran kyai Dahlan kemudian tidak hanya seputar pendidikan, namun meliputi seluruh sistem sendi kehidupan yang mampu dipraksiskan. Namun tidak dipungkiri bahwa Muhammadiyah di awal berdirinya dominan dan terkonsentrasi pada pendidikan anak bangsa, membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. C. Kesimpulan dan Penutup Membaca pikiran kyai Dahlan yang luas, genuin, dan universal memang tak cukup dengan sekali potret dengan beberapa literatur saja, karena tidaklah cukup membuat simpulan hanya dengan potongan kisah hidup maupun perjuangannya dari sosok yang agamis namun juga reformis dan adiluhur. Namun demikian penulis berasumsi dengan landasan meyakinkan setidaknya analisis tersebut diatas lah yang hingga hari ini melekat pada sosok kyai Dahlan dengan ide pendidikan modernis nya beserta fenomena organisasi Muhammadiyah/lembaga pendidikan Muhammadiyah yang diakui banyak tokoh baik dalam negeri maupun luar negeri. Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Beliau menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Sungguh corak pendidikan yang modernis revolusioner dan teori yang aplikatif yang dikembangkan Dahlan untuk zaman itu yang penuh belenggu mistis, irrasional dan terbelakang oleh kebodohan. Metode yang ditawarkan kyai Dahlan adalah sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan tradisional. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah menengah yang diberi nama al-Qism al-Arqa yang kelak menjadi bibit madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai catatan, tujuan umum lembaga pendidikan di atas baru disadari sesudah 24 tahun Muhammadiyah berdiri, tapi Amir Hamzah menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan Muhammadiyah menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah : 1. Baik budi, alim dalam agama 2. Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum) 3. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa catatan yang diendapkan oleh Kyai Dahlan, antara lain: 1. Membawa pembaruan dalam bentuk kelembagaan pendidikan, yang semula sistem pesantren menjadi sistem sekolah. 2. Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan atau madrasah. 3. Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran, dari yang semula menggunakan metode weton dan sorogan menjadi lebih bervariasi. 4. Mengajarkan sikap hidup terbuka dan toleran dalam pendidikan. 5. Dengan Muhammadiyahnya Dahlan berhasil mengembangkan lembaga pendidikan yang beragam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan dari yang berbentuk sekolah agama hingga yang berbentuk sekolah umum. 6. Berhasil memperkenalkan manajemen pendidikan modern ke dalam sistem pendidikan yang dirancangkannya. DAFTAR PUSTAKA Abdul Munir Mulkhan, Prof.Dr.SU, Kisah dan Pesan Kiai Ahmad Dahlan (Yogyakarta: Pustaka, 2005). Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993). Berita Resmi Muhammadiyah (BRM) No.23/April 1995. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1995). Hadjid, Pelajaran K.H. Ahmad Dahlan 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat al-Qur’an (Yogyakarta: LPI PPm, 2005). Nadjib Hamid, Memberi dan Mencerahkan, Hikmah Pres, 2009. Surabaya. Suara Muhammadiyah, Edisi Sabtu, 9 Februari 2008. Umar Hasyim, Muhammadiyah Jalan Lurus, PT Bina Ilmu, 1990. Surabaya. Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995). Yunus Salam, K.H. Ahmad Dahlan Reformer Islam Indonesia (Jakarta: Djajamurni, 1963).